Bisnis.com, JAKARTA – Ketika sebuah pesawat jatuh, publik menunggu satu hal yakni laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Laporan ini tidak berhenti pada kronologi, melainkan mendalami penyebab teknis dan operasional, apakah ada kesalahan prosedur kokpit, kerusakan sistem navigasi, atau faktor cuaca yang tidak diantisipasi.
Setiap temuan selalu diikuti rekomendasi berupa kewajiban pelatihan ulang pilot, pembaruan regulasi pemeliharaan, atau modifikasi sistem peringatan di pesawat. Semua laporan dipublikasikan secara terbuka, dan setiap pilot diwajibkan mempelajarinya, jika mengabaikan, ada konsekuensi hukum.
Sistem inilah yang membuat dunia penerbangan Indonesia belajar dari setiap insiden, dan pada akhirnya mampu menurunkan angka kecelakaan. Hal yang sama seharusnya berlaku untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Jika terjadi insiden keamanan pangan, Komite Nasional Keselamatan MBG (KNK-MBG) harus turun tangan, menyelidiki penyebabnya secara independen, apakah bahan pangan tidak bersertifikat, sayur dimasak terlalu dini, atau distribusi berlangsung tanpa pendingin. Rekomendasi yang keluar wajib diterapkan: hanya bahan bersertifikat yang boleh dipakai, sayuran dimasak paling akhir sebelum distribusi, dapur satelit atau boks berinsulasi digunakan jika jarak tempuh lebih dari 1 jam.
Semua laporan dipublikasikan terbuka, dan setiap Kepala Dapur atau SPPG MBG wajib membacanya, seperti halnya setiap pilot wajib membaca laporan KNKT. Dengan begitu, setiap insiden keamanan pangan bukan sekadar berita, melainkan menjadi pelajaran nasional yang membuat sistem MBG semakin aman. Landasan hukumnya jelas, UU Pangan (UU No. 18/2012), UU Kesehatan (UU No. 36/2009), UU Perlindungan Anak (UU No. 35/2014), dan UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) menegaskan hak anak atas pangan yang aman serta kewajiban negara melindungi mereka.
Presiden pun memiliki kewenangan penuh untuk membentuk lembaga independen semacam ini melalui Peraturan Presiden, sebagaimana yang pernah dilakukan untuk KNKT. Komite ini juga dirancang inklusif. Di dalamnya duduk bersama perwakilan pemerintah, orang tua murid, guru, ahli gizi, organisasi masyarakat sipil, hingga praktisi dapur massal.
Dengan begitu, pengawasan MBG tidak hanya datang dari birokrat di Jakarta, tetapi juga dari mereka yang setiap hari bersentuhan langsung dengan anak-anak penerima manfaat. Dan yang paling penting: KNK-MBG harus dibiayai penuh oleh negara melalui APBN dengan pagu mandiri. Hanya dengan begitu independensinya terjaga, tidak tergantung pada kementerian pelaksana, dan berani ber-suara apa adanya ketika ada kelalaian.
MBG adalah program dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Targetnya mencakup lebih dari 80 juta penerima manfaat, mulai dari murid sekolah dasar, siswa madrasah, hingga ibu hamil dan balita.
Setiap hari, jutaan porsi makanan akan diproduk-si dan didistribusikan dari puluhan ribu dapur di seluruh nusantara. Skala sebesar ini tentu membawa manfaat besar peningkatan gizi anak, penurunan stunting, hingga perbaikan kualitas pendidikan. Tetapi, skala besar juga berarti risiko besar.
Jika satu dapur saja lalai, ratusan anak bisa terdampak. Jika satu rantai distribusi gagal, ribuan anak bisa sakit dalam waktu bersamaan. Karena itu, diperlukan sistem keselamatan pangan yang tidak hanya ketat, tetapi juga independen, transparan, dan bisa dipercaya publik. Indonesia sudah merasakan beberapa insiden keamanan pangan sejak uji coba MBG dilakukan.
Mulai dari kasus ayam tanpa sertifikat yang terkontaminasi bakteri, sayur yang basi karena distribusi terlalu lama, hingga makan-an yang menimbulkan reaksi alergi pada anak karena tidak ada pencatatan riwayat alergi.
Semua kasus ini memperlihatkan bahwa tanpa mekanisme investigasi independen, masalah hanya ditangani sebatas “klarifikasi” atau pencopotan sementara pemasok, tanpa pembelajaran yang mendalam untuk mencegah terulang.
NEGARA LAIN
India menjalankan Mid-Day Meal Scheme (PM-POSHAN) yang menjangkau sekitar 120 juta anak di 1,27 juta sekolah (Global Child Nutrition Foundation [GCNF], 2023). Namun skala besar ini juga membuka kerentanan.
Pada 2013, 23 anak meninggal di Bihar akibat makanan yang terkontaminasi pestisida. Audit kemudian menemukan kelemahan serius: dapur yang tidak higienis, penyimpanan pangan yang buruk, serta lemahnya pengawasan (Government of India, 2013; UNICEF, 2019).
Bahkan dalam lima tahun terakhir, tercatat lebih dari 74 insiden keamanan pangan yang membuat lebih dari 4.000 anak jatuh sakit. Sebaliknya, Brasil dengan Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) memberi makan sekitar 40 juta siswa sekolah negeri setiap hari (GCNF, 2023).
Program ini melibatkan ahli gizi dalam penyusunan menu dan diawasi dewan pangan sekolah. Pengawasan diperkuat lagi dengan ada-nya School Feeding Council (CAE), yang berfungsi memastikan legalitas, trans-paransi, serta keamanan pangan dengan mengaudit penggunaan dana publik, memeriksa kondisi higienis, memastikan kepatuhan menu, dan mewajibkan sedikitnya 30% pengadaan berasal dari petani kecil dan keluarga (Rocha, 2009; UNOSSC, 2024).
Kombinasi pengawasan partisipatif dan keahlian teknis inilah yang membuat Brasil relatif terhindar dari tragedi besar, meski insiden lokal tetap terjadi. Sementara itu, Amerika Serikat menjalankan National School Lunch Program (NSLP) yang melayani sekitar 29,4 juta anak per hari, dengan 21,1 juta menerima makanan gratis atau ber-subsidi (Food Research & Action Center [FRAC], 2023).
Pada dekade 1990-an, tercatat 195 wabah penyakit akibat pangan di sekolah yang melibatkan ribuan anak (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 2015). Insiden ini kemudian men-dorong investigasi sistematis melalui National Outbreak Reporting System (NORS) dan melahirkan reformasi besar: penerapan wajib standar HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) di setiap sekolah (FAO, 2020).
Lebih dari sekadar urusan gizi, MBG adalah urusan kepercayaan publik. Jika anak-anak jatuh sakit akibat makanan yang seharusnya menyehatkan, maka bukan hanya orang tua yang kehi-langan kepercayaan, tetapi juga seluruh masyarakat. Program besar yang digadang sebagai warisan politik bisa runtuh hanya karena kega-galan dalam manajemen kea-manan pangan.
Di sisi lain, jika ada lembaga independen seperti KNK-MBG, setiap masalah bisa ditangani secara profesional, transparan, dan sistematis. Publik melihat bahwa negara hadir tidak hanya memberi makan, tetapi juga menjamin keamanan. Kepercayaan publik pun terjaga, legitimasi politik pemerintah diperkuat, dan MBG bisa berjalan berkelanjutan hingga 2045. Indonesia tidak perlu menunggu tragedi besar untuk bertindak.
Saatnya Presiden membentuk KNK-MBG agar program MBG tidak hanya bergizi, tetapi juga aman dan dipercaya rakyat.
