Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan Nasional 7 Oktober 2025

Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki peran penting sebagai pilar negara yang independen. 
Berdasarkan teori
trias politica
yang dicetuskan John Locke dan dikembangkan Montesquieu, kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar kekuasaan negara.
Cabang kekuasaan yudikatif diamanatkan kepada Mahkamah Agung (MA), badan peradilan di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial sesuai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 
Kepala Biro Keuangan Badan Urusan Administrasi MA Edi Yuniadi mengatakan, konsep tersebut menjadi landasan utama dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.
Dia menjelaskan, kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya, dengan fokus utama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara atau sengketa di bidang hukum pidana, perdata, agama, dan tata usaha negara. 
Kekuasaan tersebut lazim dengan sebutan kewenangan mengadili perkara/sengketa. 
“Peran mengadili perkara/sengketa menjadi kekuasaan hakim yang tidak dapat diwakilkan atau memiliki otoritas penuh sebagai peran pemberi keadilan dalam penyelesaian perkara/sengketa,” kata Edi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (7/10/2025).
Dalam konteks administratif, kewenangan MA diberikan untuk menciptakan atau membuat putusan yang disebut dengan istilah putusan hakim dan menjadi indikator kinerja utama badan peradilan.
Edi menjelaskan, kesan pertama terhadap pengadilan dapat dilihat dari jalannya persidangan yang di dalam ruang sidang pengadilan.
“Ruang sidang bukan sekadar tempat berlangsungnya proses hukum, tetapi juga merupakan simbol nyata dari keadilan yang ditegakkan negara,” sebutnya. 
Menurut Edi, ruang sidang adalah ruang sakral mengingat hukum berbicara, kebenaran diuji, dan keadilan ditegakkan. 
Oleh karenanya, pandangan terhadap ruang sidang tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik dan arsitekturnya, tetapi memiliki nilai-nilai filosofis, psikologis, dan sosiologis yang melekat di dalamnya. 
Dalam sistem hukum modern, pengadilan merupakan lembaga yang memiliki fungsi sentral dalam menegakkan keadilan, menyelesaikan sengketa, dan menjaga supremasi hukum. 
Edi menilai, salah satu elemen penting dalam proses peradilan adalah ruang sidang. 
Meskipun sering dipandang hanya sebagai tempat berlangsungnya persidangan, secara akademik ruang sidang memiliki makna yang lebih luas, baik secara normatif, simbolik, maupun sosial.
“Ruang sidang tidak hanya menjadi arena pelaksanaan hukum, tetapi juga representasi dari integritas, profesionalisme, dan wibawa lembaga peradilan,” kata Edi. 
Secara simbolik, kata dia, ruang sidang mencerminkan struktur dan otoritas dalam peradilan. 
Tata letak yang hierarkis, dengan posisi majelis hakim yang lebih tinggi dari para pihak, melambangkan supremasi hukum dan independensi yudikatif. 
Elemen-elemen, seperti palu hakim, toga, dan lambang negara memperkuat legitimasi dan otoritas negara dalam menegakkan hukum. 
Edi menyebutkan, hal tersebut sejalan dengan teori simbolik dalam sosiologi hukum yang menyatakan bahwa aspek-aspek visual dan ritual dalam ruang sidang memperkuat persepsi publik terhadap keadilan, seperti diungkapkan Cohen (2006).
Dari sudut pandang psikologis, ruang sidang memiliki dampak signifikan terhadap para pencari keadilan. 
Bagi pihak awam, suasana formal ruang sidang bisa menimbulkan tekanan, ketakutan, atau kecemasan. 
Oleh karena itu, penting bagi aparat peradilan untuk menciptakan suasana sidang yang tetap profesional namun inklusif. 
“Secara sosiologis, ruang sidang adalah panggung sosial tempat berbagai kepentingan bertemu dan diuji oleh hukum,” ungkap Edi. 
Peneliti seperti Habermas (1996) menyatakan, ruang publik, seperti pengadilan, harus menjamin partisipasi rasional dan setara dari semua pihak. 
Perkembangan teknologi telah mendorong reformasi dalam sistem peradilan, termasuk perubahan dalam bentuk dan fungsi ruang sidang. 
Implementasi sistem
e-court
, persidangan secara daring/
online court
, serta digitalisasi dokumen hukum mengubah persepsi tradisional terhadap ruang sidang. 
Meski demikian, transformasi itu tidak boleh mengurangi esensi ruang sidang sebagai tempat yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. 
Dengan kata lain, digitalisasi harus dilihat sebagai alat, bukan pengganti dari nilai-nilai substantif peradilan.
Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA memiliki tanggung jawab dalam menciptakan pelayanan peradilan yang berwibawa, profesional, dan berstandar nasional. 
Purwarupa Gedung Kantor Pengadilan di Lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya merupakan salah satu upaya konkret untuk mewujudkan standarisasi ruang sidang.
Dalam hal ini, ruang sidang tidak hanya mendukung kenyamanan dan efisiensi proses peradilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan sumber daya nasional.
Hal itu sesuai dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 216/KMA/SK.PL.1.2.2./X/2023 tentang Pedoman Standarisasi Tata Ruang, Sarana Prasarana. 
Namun, kata Edi, pada tataran implementasi, SK KMA 216/2023 belum dapat dipenuhi seluruhnya karena kondisi ruang sidang yang belum memenuhi standarisasi.  
Oleh karena itu, diperlukan terobosan melalui suatu inovasi dalam rangka mewujudkan Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan (Strada Dilan) pada empat lingkungan peradilan untuk mewujudkan layanan persidangan yang bermartabat, inklusif dan berkeadilan.
Untuk mewujudkan itu, Edi mempelopori tim MA yang akan menyiapkan tiga regulasi.
Pertama
, pedoman standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Kedua
, pedoman pemanfaatan PNBP Mahkamah Agung untuk mendukung standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Ketiga
, penetapan
pilot project
standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Hal itu juga dilakukan Edi sebagai sebagai
project leader
pelaksanaan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XV yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia.
Edi mengatakan, ketiga regulasi tersebut akan meningkatkan kualitas layanan peradilan, meningkatkan kepercayaan publik, memberikan pengalaman beracara yang lebih baik terutama bagi kelompok rentan, seperti perempuan, disabilitas, dan anak.
“Dengan begitu, Strada Dilan dapat mewujudkan layanan persidangan yang bermartabat, inklusif, serta berkeadilan bagi masyarakat pencari keadilan maupun
stakeholders
pengadilan,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.