Surabaya (beritajatim.com) – Suasana haru menyelimuti halaman Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo.
Suasana terik di siang panas halaman Pondok Pesantren (Ponpes) berubah menjadi hujan tangis. Puluhan orang tua dan wali santri duduk berdesakan, sebagian berdiri dengan tatapan kosong.
Suara sesenggukan terdengar bersahut-sahutan, menandai betapa berat beban duka yang mereka tanggung.
Air mata itu pecah setelah digelarnya rapat asesmen terakhir pencarian korban runtuhan bangunan tiga lantai dan musala ponpes.
Rapat yang digelar menjelang berakhirnya golden time 72 jam, tepat pukul 16.00 WIB, membawa keputusan pahit: pencarian akan dilanjutkan dengan menggunakan alat berat.
Bagi para orang tua, keputusan ini seolah menjadi sinyal redupnya harapan menemukan anak mereka dalam kondisi selamat.
“Saya sudah pasrah, hanya bisa berdoa. Semoga kalaupun ditemukan, anak saya bisa dipulangkan dengan baik,” ucap seorang wali santri dengan suara lirih, sambil menggenggam erat sajadah kecil di tangannya.
Rapat Krusial di Tengah Duka
Rapat tersebut dihadiri tokoh-tokoh penting, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, serta jajaran Forkopimda. Kehadiran mereka menjadi bukti betapa seriusnya penanganan tragedi ini, namun di sisi lain menambah ketegangan emosional keluarga korban yang menunggu kepastian.
Salah satu poin utama pembahasan adalah penggunaan lima unit alat berat yang sudah terparkir di sekitar ponpes. Tim SAR gabungan menilai langkah ini harus ditempuh karena indikasi korban selamat semakin tipis.
“Dengan pertimbangan waktu dan kondisi bangunan yang rawan, asesmen terakhir ini memutuskan penggunaan alat berat untuk percepatan evakuasi,” ungkap seorang pejabat SAR di lokasi.
Hujan tangis Wali santri di Pondok Al Khoziny Sidoarjo
Data Korban yang Menggetarkan
Hingga Kamis sore, Tim SAR Gabungan mencatat total 108 orang menjadi korban dalam tragedi ini. Sebanyak 18 orang berhasil dievakuasi, 5 di antaranya meninggal dunia. Sisanya, lebih dari 80 orang, berhasil menyelamatkan diri sendiri.
Namun, laporan terbaru masih memperkirakan ada puluhan korban yang belum ditemukan di bawah reruntuhan. Data absensi dari Pondok yang diterima mencapai 59 santri.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Meski duka mendalam menyelimuti, secercah harapan masih terpatri di hati para orang tua. Beberapa dari mereka masih percaya mukjizat bisa terjadi. Di antara suara tangis, doa-doa lirih terus dipanjatkan, mengiringi setiap langkah petugas di lapangan.
“Kalau memang anak saya sudah dipanggil Allah, saya ikhlas. Tapi kalau masih ada kesempatan hidup, saya mohon diberi keajaiban,” kata seorang ibu sambil menatap reruntuhan dengan mata sembab.
Golden time boleh berakhir, namun doa dan harapan para wali santri tetap hidup. Di tengah suara mesin alat berat yang bersiap, tangisan pilu dan doa tulus menjadi saksi betapa tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang menyaksikan. (rma/ted)
