Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR… Nasional 2 Oktober 2025

Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mencoret anggota DPR RI dari kategori daftar penerima pensiun yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang psikiater, Lita Linggayani, bersama mahasiswa Syamsul Jahidin, dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 yang teregistrasi pada 30 September 2025.
Dalam gugatannya, Lita menilai, pemberian uang pensiun seumur hidup bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun adalah bentuk ketidakadilan.
“Bahwa, di samping kedudukannya sebagai warga negara, Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Akademisi/Praktisi/pengamat Kebijakan Publik dan juga pembayar pajak, tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR-RI yang hanya menempati jabatan selama 5 tahun mendapatkan tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan,” demikian bunyi permohonan itu, dikutip dari laman resmi MK, Rabu (1/10/2025).
Atas dasar itu, pemohon meminta MK mencoret DPR dari kategori lembaga tinggi negara yang berhak atas pensiun.
Misalnya, Pasal 1 Huruf A UU 12/1980 hanya memasukkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tinggi negara.
Kemudian Pasal 1 Huruf F menguraikan bahwa anggota lembaga tinggi negara hanya terdiri dari anggota DPA, BPK, dan hakim MA.
Terakhir, Pasal 12 ayat 1 mengenai anggota lembaga tinggi negara yang mendapatkan pensiun.
Pemohon pun membandingkan sistem pensiun parlemen di sejumlah negara.
Anggota Kongres Amerika Serikat, misalnya, baru bisa mengeklaim pensiun pada usia 62 tahun dengan besaran dihitung dari rata-rata gaji selama masa jabatan.
“Tidak ada pensiun seumur hidup otomatis jika hanya menjabat sebentar,” tulis permohonan tersebut.
Sementara di Inggris dan Australia, sistemnya serupa dengan pekerja pada umumnya, yakni berbasis tabungan pensiun.
Hanya India yang cukup mirip dengan Indonesia, yakni memberikan pensiun tetap seumur hidup meski hanya menjabat satu periode.
 
Hak pensiun anggota DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1).
Aturan itu menyebutkan, pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara yang berhenti dengan hormat berhak memperoleh pensiun berdasarkan lama masa jabatan.
Besaran uang pensiun diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
Anggota DPR yang menjabat dua periode berhak atas pensiun paling tinggi Rp 3,6 juta per bulan.
Bagi yang menjabat satu periode, nominalnya maksimal Rp 2,9 juta.
Sementara yang hanya menjabat 1-6 bulan, pensiunnya sekitar Rp 401.000 per bulan.
Pimpinan DPR RI menegaskan tidak keberatan apabila MK mengabulkan gugatan tersebut.
Wakil Ketua DPR RI dari fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pimpinan dan anggota DPR akan tunduk pada apa pun putusan MK.
“Ya sebenarnya kalau anggota DPR itu kan hanya mengikuti karena itu produk undang-undang yang sudah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Nah, apa pun itu kami akan tunduk dan patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Apa pun yang diputuskan, kita akan ikut,” ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Rabu (1/10/2025).
Wakil Ketua DPR lainnya, Saan Mustofa dari Fraksi Nasdem, juga menegaskan pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan.
Menurut dia, para pemohon uji materi memiliki hak konstitusional untuk mengajukan gugatan ke MK.
“Menurut saya, itu hak mereka yang punya
legal standing
untuk melakukan uji materi gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Jadi, kita di DPR posisi menghormati apa pun dan apa pun nanti hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan soal uang pensiun, kita pasti akan ikuti,” ujar Saan.
Saan memastikan, DPR tidak merasa keberatan jika putusan MK nanti menghapus tunjangan pensiun anggota dewan.
“Enggak, enggak ada keberatan,” tegas dia.
 
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Masa cuma menjabat lima tahun, seorang anggota diberikan pensiun seumur hidup. Bayangkan kalau seseorang yang menjabat itu selesai di usia 25 tahun. Enak benar dia sejak usia belia sudah dikasih jatah pensiun, walaupun setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia bekerja aktif di tempat lain,” kata Lucius, kepada Kompas.com, Rabu.
Lucius menilai, aturan soal pensiun anggota DPR yang berasal dari UU 12/1980 sudah ketinggalan zaman.
“Dasar hukum terkait dana pensiun anggota DPR adalah UU produk rezim Orde Baru. Dari sisi waktu berlakunya, UU ini sudah sangat layak diubah karena ada banyak perkembangan yang perlu disesuaikan. Aneh saja DPR melupakan UU ini untuk direvisi. Giliran UU lain saja, belum setahun dibikin, DPR sudah merevisinya lagi,” ujar dia.
Dia menegaskan, uang pensiun seharusnya diberikan kepada orang yang sudah tidak mampu bekerja karena faktor usia.
Sementara anggota DPR umumnya masih segar dan bisa kembali bekerja setelah tidak terpilih lagi.
“Yang hanya karena gagal memenangi pemilu selanjutnya, masa secara otomatis mendapatkan dana pensiun walaupun usia masih sangat muda? Belum lagi kalau bicara terkait kinerja anggota DPR yang sampai sekarang sulit dikatakan layak diganjar apresiasi,” tutur Lucius.
Dengan demikian, menurut Lucius, sudah tepat jika kebijakan uang pensiun seumur hidup anggota DPR dievaluasi, apalagi di tengah keterbatasan anggaran pemerintah.
“Kita jadi sadar bahwa keterbatasan anggaran untuk program pemerintah salah satunya karena pemborosan anggaran untuk hal yang tidak tepat, seperti dana pensiun untuk anggota DPR ini. Jadi sudah tepat jika dievaluasi untuk dihapus,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.