Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan impor nikel pada tahun ini mengalami lonjakan.
APNI mencatat smelter-smelter di Indonesia telah mengimpor 15 juta ton bijih nikel sepanjang Januari-Agustus 2025, naik signifikan dibandingkan sepanjang tahun lalu.
“Tahun lalu, kita impor sampai 12 juta ton. Tahun ini, sampai akhir Agustus kemarin, kita sudah impor sampai hampir 15 juta ton bijih nikel dari Filipina,” kata Meidy dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Menurutnya, impor nikel dilakukan lantaran pasokan di dalam negeri masih kurang. Ketersediaan pasokan tak selaras dengan jumlah smelter yang menjamur.
Dia memperkirakan jumlah impor itu akan terus meningkat sampai akhir tahun ini. Terlebih, pada Oktober merupakan periode terbaik untuk smelter berproduksi.
“Itu pasti, itu sudah terkonfirmasi karena saya sudah lihat ada beberapa kontrak yang sudah mulai dilakukan oleh smelter, khususnya HPAL [high pressure acid leach],” imbuh Meidy.
Selain itu, para pengusaha juga tengah melakukan perundingan untuk melakukan impor bijih nikel dari Kaledonia dan Papua Nugini. Menurut Meidy, pembicaraan itu khususnya terkait kesesuaian harga.
Meidy memaparkan, impor nikel dilakukan tak lepas dari menjamurnya smelter di Tanah Air. Berdasarkan catatannya, smelter nikel yang berproduksi di Indonesia saat ini mencapai 73 unit.
Berikutnya, masih ada 73 unit smelter yang masih dalam tahap konstruksi. Di samping itu, masih ada 17 smelter masih masuk dalam perencanaan pembangunan. Dengan begitu, secara total diasumsikan terdapat 163 smelter yang bakal berproduksi di Indonesia.
“Dari sekian banyak 163 ini, jika berproduksi semua, nangis kalau saya bilang. Kenapa? Cadangan [bijih nikel]-nya enggak cukup. Sangat amat cadangannya enggak cukup,” ucap Meidy.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diakses Bisnis pada Selasa (30/9/2025), impor bijih nikel dan konsentrat dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Januari-Juli 2025 mencapai 6,82 juta ton dengan nilai US$322,57 juta. Mayoritas impor nikel mengalir ke Weda, Morowali, Samarinda, Kolonodale, dan Kendari.
Filipina merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia. Namun, masih tertinggal dari Indonesia dalam mengembangkan industri hilir karena tingginya kebutuhan modal untuk pembangunan smelter.
Upaya terbaru pemerintah Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah guna mendorong investasi di sektor pengolahan gagal karena ditolak oleh parlemen pada bulan lalu, menyusul penolakan dari pelaku industri.
Kendati demikian, beberapa perusahaan tambang Filipina belum sepenuhnya meninggalkan rencana pengembangan smelter nikelnya. DMCI bekerja sama dengan perusahaan tambang besar lainnya, Nickel Asia Corp., untuk mengkaji kelayakan pembangunan pabrik pemurnian.
Keduanya tengah mempertimbangkan pembangunan smelter nikel dengan teknologi HPAL senilai sekitar US$1,5 miliar dan telah berdiskusi dengan perusahaan asing terkait keahlian teknis dan potensi investasi.