Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkhawatirkan tekanan pelemahan rupiah terhadap dolar AS ke kisaran Rp16.700 dapat menggerus produktivitas industri nasional.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, kondisi ini menjadi perhatian serius bagi dunia usaha mengingat 70%—90% bahan baku manufaktur berasal dari impor. Apalagi, porsi ongkos bahan baku mencapai 55% dalam struktur biaya produksi.
“Kami melihat dampaknya bukan sekadar soal pergerakan angka di pasar keuangan, melainkan persoalan yang langsung menyentuh jantung operasional industri nasional,” kata Shinta kepada Bisnis, Jumat (26/9/2025).
Artinya, tekanan pelemahan rupiah akan tercerminkan dalam kenaikan biaya produksi dan berpotensi menurunkan daya saing produk nasional, baik di pasar domestik maupun global.
Dia pun mencontohkan industri tekstil yang sangat bergantung pada impor mono etilen glikol (MEG), kapas, benang filamen, hingga serat sintetis.
Menurut Shinta, sektor padat karya tersebut menghadapi tekanan biaya yang signifikan dan tidak semua pelaku usaha dapat langsung membebankan ke harga jual.
“Yang lebih menantang bagi dunia usaha bukan hanya tren pelemahan itu sendiri, melainkan ketidakpastian akibat volatilitas kurs,” tambahnya.
Jika nilai tukar rupiah bergerak terlalu fluktuatif, pelaku usaha juga kesulitan menyusun perencanaan biaya, mengatur arus kas, maupun menjaga daya saing ekspor.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri terdapat sebagian sektor industri yang mendapatkan keuntungan jangka pendek, misalnya eksportir berbasis komoditas pertambangan atau kehutanan.
“Namun, benefit ini sangat terbatas. Banyak eksportir manufaktur juga tetap tertekan karena mereka mengimpor komponen atau bahan baku dalam jumlah besar,” jelasnya.
Akibatnya, depresiasi rupiah disebut seringkali menggerus margin daripada memberi tambahan keuntungan. Apalagi, UMKM yang juga dinilai sangat sensitif terhadap fluktuasi biaya input, tekanan ini bahkan lebih berat karena ruang efisiensi yang mereka miliki jauh lebih sempit.
Untuk itu, dia berharap agar pelemahan rupiah dapat direspons dengan kebijakan makro yang solid. Apindo meyakini pemerintah dan Bank Indonesia memiliki instrumen yang tepat untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
“Sebagaimana beberapa bulan ke belakang ketika rupiah relatif terjaga meskipun tekanan global cukup besar akibat pengumuman tarif resiprokal AS dan penguatan dolar,” tuturnya.
Dalam hal ini, Apindo juga menekankan ke depannya penting untuk melakukan sinergi kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan untuk menjaga stabilitas kurs sekaligus meminimalkan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia usaha.
Lebih lanjut, Shinta memberikan beberapa catatan yang akan didorong bersama. Pertama, menjaga nilai tukar rupiah agar tetap konsisten mencerminkan kondisi fundamental ekonomi sehingga tidak menimbulkan volatilitas berlebihan.
Kedua, menyeimbangkan kepentingan ekspor dengan perlindungan konsumsi domestik, khususnya masyarakat menengah-bawah yang paling rentan terhadap imported inflation.
Ketiga, mendorong diversifikasi sumber bahan baku dengan substitusi produk lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan risiko kurs.
Keempat, menguatkan koordinasi stabilitas harga dan daya beli dengan memastikan kebutuhan domestik dengan kebijakan impor/ekspor telah matching serta alokasi dan program subsidi yang terarah.
Kelima, mengoptimalkan kebijakan DHE dengan insentif yang menarik, agar devisa hasil ekspor lebih banyak terserap di dalam negeri.
“Bagi kami, stabilisasi nilai tukar tidak cukup hanya mengandalkan intervensi pasar jangka pendek, diperlukan strategi jangka menengah yang lebih komprehensif, karena stabilitas rupiah adalah prasyarat fundamental bagi keberlanjutan usaha, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.
Shinta menegaskan bahwa dunia usaha akan siap berkolaborasi. Namun, menekankan terkait dengan kepastian kebijakan dan arah makro yang kredibel sebagai kunci menjaga optimisme dan daya saing Indonesia di tengah gejolak global.
