Menanti Reforma Agraria Sejati Nasional 25 September 2025

Menanti Reforma Agraria Sejati
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 September 2025

Menanti Reforma Agraria Sejati
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
SETIAP
24 September, Hari Tani Nasional selalu hadir dengan pelbagai seremoni, slogan, dan janji-janji yang terdengar heroik. Namun, di balik semua itu, kenyataan di lapangan tetap pahit: petani masih terpinggirkan, akses terhadap tanah semakin sempit, sementara penguasaan lahan justru terkonsentrasi pada korporasi besar dan elite politik.
UUPA 1960 pernah diproyeksikan sebagai tonggak lahirnya tatanan agraria yang adil. Amanat tentang tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat dan fungsi sosial hak atas tanah seharusnya menjadi pijakan utama pembangunan. Namun, setelah lebih dari enam dekade, implementasi reforma agraria masih berjalan di tempat, bahkan sering dipelintir menjadi sekadar legalisasi ketimpangan melalui program sertifikasi massal tanpa menyentuh akar persoalan.
Reforma agraria sejati menuntut keberanian politik untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang. Selama negara masih menempatkan modal besar sebagai prioritas utama, petani akan terus menjadi korban—terpinggirkan di tanahnya sendiri, sementara keadilan agraria hanya menjadi jargon yang diperdagangkan di ruang-ruang kekuasaan.
Lonjakan konflik agraria dalam beberapa tahun terakhir menyingkap wajah buram reforma agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2024 saja terjadi hampir tiga ratus kasus konflik agraria dengan cakupan lahan lebih dari satu juta hektare. Puluhan ribu keluarga di ratusan desa menjadi korban, mayoritas dari mereka adalah petani kecil, masyarakat miskin kota, dan komunitas adat yang kehilangan ruang hidupnya.
Sektor perkebunan menempati posisi teratas sebagai penyumbang konflik, dengan lebih dari seratus kasus, dua pertiganya berasal dari ekspansi sawit. Perkebunan sawit yang diklaim menyerap tenaga kerja dan mendatangkan devisa, justru menjadi sumber perampasan tanah terbesar, mengusir hampir 15 ribu keluarga dari lahan garapannya.
Di belakangnya, proyek infrastruktur yang dibungkus label Proyek Strategis Nasional turut menyumbang puluhan kasus, sementara pertambangan batubara dan nikel menambah daftar luka di wilayah agraria.
Konflik agraria kini menjangkau hampir seluruh provinsi di Indonesia, dengan angka tertinggi di Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Dari kota besar hingga desa terpencil, petani dan warga kecil sama-sama menghadapi ancaman penggusuran dan kriminalisasi. Catatan KPA menunjukkan ratusan orang dikriminalisasi, puluhan mengalami kekerasan, bahkan ada yang tewas di tangan aparat yang seharusnya melindungi.
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa konflik agraria bukan sekadar sengketa tanah biasa, melainkan krisis struktural yang berakar pada ketimpangan penguasaan lahan. Negara justru hadir sebagai fasilitator modal besar, baik lewat kebijakan perkebunan, proyek infrastruktur, maupun regulasi yang memberi ruang bagi badan usaha swasta hingga Bank Tanah untuk menguasai lahan rakyat.
Reforma agraria yang seharusnya menjadi jalan keluar, tereduksi menjadi program sertifikasi, sementara akar ketidakadilan terus dibiarkan menyebar.
Lonjakan konflik agraria bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata kegagalan negara dalam menjalankan amanat UUPA 1960. Alih-alih menata struktur penguasaan tanah, kebijakan agraria justru menormalisasi praktik perampasan.
Proyek strategis nasional, ekspansi perkebunan, hingga tambang mineral dibentangkan sebagai simbol pembangunan, padahal di baliknya ribuan keluarga terusir dari tanah garapan, dipaksa hengkang dari kampung halaman, bahkan kehilangan status hukum atas tanah yang telah mereka kelola turun-temurun.
Keterlibatan aparat dalam melindungi kepentingan modal besar semakin memperlebar jurang ketidakadilan.
Tahun 2024 KPA mencatat sedikitnya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah konflik agraria. Dari jumlah itu, 399 orang dikriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan fisik, sementara 4 orang ditembak dan 4 orang tewas akibat tindakan aparat. Korban-korban tersebut mayoritas berasal dari kelompok petani, masyarakat adat, dan warga miskin kota yang mempertahankan ruang hidupnya.
Negara tampil bukan sebagai penengah, melainkan sebagai tangan represif yang memastikan kepentingan korporasi berjalan mulus. Reforma agraria pun kehilangan makna: bukan lagi tentang pemerataan dan fungsi sosial tanah, melainkan instrumen legalisasi ketimpangan. Petani, yang semestinya diposisikan sebagai tulang punggung ketahanan pangan, justru terus digusur.
Kontradiksi ini menyingkap wajah sesungguhnya dari pembangunan agraria di Indonesia: sebuah pembangunan yang berdiri di atas pengorbanan rakyat kecil.
Reforma agraria di Indonesia sejak awal dimaksudkan sebagai agenda perubahan struktural, yakni merombak ketimpangan penguasaan tanah melalui
landreform
. Konsep ini sejalan dengan pandangan agraria klasik ala Marx tentang pentingnya distribusi ulang alat produksi agar tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elite (Marx, 1867).
Dalam hukum Indonesia, UUPA 1960 mengafirmasi prinsip tersebut melalui pasal-pasal mengenai pembatasan luas tanah dan fungsi sosial hak atas tanah. Akan tetapi, dalam praktik, arah kebijakan agraria justru mengalami distorsi. Harsono (2008) menegaskan bahwa UUPA 1960 sejatinya merupakan instrumen hukum progresif untuk mewujudkan keadilan sosial, tetapi pelaksanaannya sering kali diselewengkan menjadi sekadar administrasi pertanahan, bukan redistribusi struktural.
Hal ini terbukti dari program sertifikasi massal yang dikampanyekan pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang. Sertifikasi tanah yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru kerap menjadi instrumen legalisasi
status quo
dan melanggengkan ketimpangan.
Dalam perspektif teori akses ala Ribot dan Peluso, ketidakadilan bukan hanya persoalan kepemilikan formal, tetapi juga akses aktual terhadap tanah, sumber daya, dan keuntungan ekonomi.
Negara yang berpihak pada modal besar memperkuat akses korporasi terhadap tanah, sementara masyarakat kecil kehilangan akses meski memiliki klaim historis. Di sinilah reforma agraria kehilangan esensinya: redistribusi digantikan dengan legalisasi, dan keadilan agraria direduksi menjadi sekadar kepastian administrasi.
Sejatinya, reforma agraria di Indonesia telah terjebak dalam “reforma agraria administratif”—yakni fokus pada sertifikat, pendaftaran tanah, dan data teknis, tanpa menyentuh akar ketimpangan struktur agraria. Padahal, tujuan awal reforma agraria adalah membongkar konsentrasi penguasaan tanah yang timpang.
Dengan kerangka teori dan pandangan para ahli tersebut, jelas bahwa problem agraria hari ini bukan sekadar konflik horizontal atau sengketa lokal, melainkan kegagalan negara dalam mengembalikan reforma agraria pada esensi sejatinya: redistribusi tanah yang adil sebagai basis keadilan sosial dan kedaulatan pangan.
Mewujudkan reforma agraria sejati membutuhkan keberanian politik yang lebih dari sekadar program sertifikasi dan jargon pembangunan. Negara harus kembali pada mandat UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD NRI 1945: tanah bukan komoditas belaka, melainkan sumber kehidupan yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanpa penataan ulang struktur penguasaan tanah, setiap janji kedaulatan pangan hanya akan menjadi mitos yang terus diproduksi dari panggung kekuasaan.
Agenda redistribusi tanah harus dipulihkan sebagai inti reforma agraria, bukan digeser menjadi proyek administratif. Tanah-tanah yang selama ini terkonsentrasi di tangan korporasi besar, badan usaha negara, hingga bank tanah perlu didistribusikan kembali kepada petani kecil dan masyarakat adat. Dengan cara itu, ketimpangan struktural bisa dipangkas dan potensi konflik dapat ditekan.
Reforma agraria bukanlah hadiah dari negara kepada rakyat, melainkan prasyarat bagi demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Selain itu, pelindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas. Catatan ratusan korban kriminalisasi sepanjang 2024 menunjukkan bahwa aparat negara kerap digunakan sebagai instrumen represi. Pola ini harus diputus. Aparat semestinya hadir melindungi rakyat, bukan memfasilitasi perampasan tanah.
Penegakan hukum yang berpihak pada keadilan agraria, bukan pada modal besar, menjadi fondasi penting agar reforma agraria tidak lagi terjebak dalam pusaran kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Reforma agraria sejati tidak mungkin terwujud tanpa keberpihakan jelas: berpihak pada petani, masyarakat adat, dan kelompok kurang mampu yang selama ini dikorbankan atas nama pembangunan. Hanya dengan keberanian politik seperti itu, cita-cita UUPA 1960 untuk menghadirkan keadilan sosial dapat benar-benar hidup, bukan sekadar diulang dalam seremoni Hari Tani Nasional.
Tanpa langkah itu, reforma agraria akan terus menyimpang arah, dan keadilan agraria hanya akan menjadi retorika kosong di tengah luka rakyat yang tidak kunjung sembuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.