Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha menyambut positif penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia—Uni Eropa atau Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Perjanjian IEU-CEPA dinilai sebagai langkah strategis yang akan mendorong transformasi struktural dan peningkatan daya saing industri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai IEU-CEPA sebagai milestone diplomasi ekonomi Indonesia yang menandai transisi dari ekonomi potensial menjadi ekonomi berbasis performa.
Menurutnya, IEU-CEPA memberi kepastian keterbukaan dan aturan yang jelas sehingga perdagangan dan investasi tetap terjamin meski risiko geopolitik global meningkat.
Dia menyebut, Indonesia akan mendapatkan peluang memperluas ekspor produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, perikanan, hingga industri hilir. Di sisi lain, Uni Eropa memperoleh akses ke pasar domestik dengan 270 juta konsumen.
Perjanjian ini, menurut Shinta, juga akan mengerek arus foreign direct investment (FDI) ke sektor hilir sawit, seperti oleokimia, bioenergi, dan pangan fungsional.
“CEPA akan mendorong arus FDI yang berkualitas, tidak sekadar modal finansial, tetapi juga transfer teknologi, skills upgrading, dan kemitraan jangka panjang yang berorientasi pada sustainable growth,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (22/9/2025).
Selain itu, dia memperkirakan IEU—CEPA akan mendorong ekspor Indonesia ke Uni Eropa tumbuh 30–50% dalam 5 tahun pertama, dan meningkat signifikan dalam dekade berikutnya.
Shinta menambahkan, IEU—CEPA menjadi katalis reformasi struktural melalui penyederhanaan rules of origin dan harmonisasi standar, yang dapat meningkatkan ekspor lebih dari 50% dalam 3–4 tahun, berkontribusi pada pertumbuhan PDB hingga 0,19%, dan peningkatan FDI sebesar 0,42%.
Lebih lanjut, Apindo juga melihat perjanjian IEU—CEPA juga membuka peluang signifikan bagi ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.
“Melalui IEU—CEPA, Indonesia memperoleh kuota bebas tarif hingga 1 juta ton CPO dan pengurangan tarif untuk produk turunan sawit,” ujarnya.
Shinta melihat, hal ini memberikan manfaat bagi Indonesia untuk mengekspor lebih banyak ke Uni Eropa sekaligus memperkuat keunggulan terhadap produsen CPO lainnya di pasar Eropa sehingga ruang ekspor akan terbuka lebih besar.
Namun demikian, Shinta menyoroti bahwa hambatan nontarif yang justru menjadi tantangan utama, yakni standar keberlanjutan Uni Eropa, termasuk EU Deforestation Regulation (EUDR) yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh pelaku usaha domestik.
Dia menuturkan, meski saat ini sawit menyumbang 50% dari total impor minyak nabati Uni Eropa dan 31% dari impor Belanda, 97,5% petani kecil Indonesia (sekitar 2,5 juta orang) masih belum memiliki dokumentasi sesuai ketentuan EUDR.
“Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pertumbuhan perdagangan yang inklusif, sekaligus alasan mengapa regulatory alignment dan sistem traceability yang kredibel menjadi krusial agar sawit Indonesia tidak tertinggal,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang menilai IEU—CEPA sebagai peluang strategis untuk memperluas ekspor Indonesia ke 27 negara anggota Uni Eropa. Terlebih, hampir 80% komoditas masuk bebas tarif ke pasar Eropa. Begitu pula sebaliknya.
Menurutnya, Indonesia harus memanfaatkan peluang dari IEU-CEPA semaksimal mungkin di tengah perang tarif dagang dengan AS yang penuh dengan ketidakpastian.
“Kita jangan menjadi pangsa pasar baru bagi berbagai produk Eropa, tetapi harus saling memanfaatkan pangsa pasar untuk meningkatkan volume ekspor berbagai komoditas kita,” kata Sarman kepada Bisnis.
Untuk itu, Kadin mendorong pelaku usaha untuk mempersiapkan diri dengan memenuhi regulasi teknis dan keberlanjutan yang disyaratkan Uni Eropa, terutama pada komoditas strategis seperti CPO.
“Peluang ekspor CPO dan turunannya tetap terbuka, namun persyaratan yang demikian ketat harus mampu kita penuhi,” pungkasnya.
