5.360 Siswa Keracunan MBG, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
PROGRAM
Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo Subianto sejatinya berangkat dari niat luhur: menyehatkan anak bangsa, mengurangi angka stunting, sekaligus membangun sumber daya manusia yang lebih kuat. Namun, niat baik itu kini tercoreng.
Berdasarkan catatan lembaga pemantau pendidikan, hingga pertengahan September 2025, tercatat 5.360 siswa menjadi korban keracunan makanan akibat program ini.
Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata dari lemahnya pengawasan negara terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan anak-anak sekolah.
Pertanyaan yang kemudian menyeruak: masih maukah pemerintah tetap melanjutkan program ini dalam kondisi seperti ini, Pak Presiden?
Di atas kertas, program MBG menawarkan harapan besar. Jutaan siswa sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia dijanjikan asupan gizi seimbang setiap hari.
Pemerintah berulang kali menyebut MBG sebagai jawaban atas tantangan gizi buruk dan ketimpangan nutrisi.
Namun, kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Ratusan kasus keracunan muncul di berbagai daerah.
Mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Kalimantan, anak-anak dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, pusing, hingga muntah-muntah.
Para orangtua resah, tenaga kesehatan kewalahan, dan sekolah-sekolah kelimpungan menghadapi krisis yang semestinya tidak perlu terjadi. Bukankah gizi mestinya menyehatkan, bukan meracuni?
Akar masalah program MBG bukan semata pada ide besar yang salah arah, melainkan pada pelaksanaan yang sembrono. Dari hulu hingga hilir, rantai distribusi makanan memperlihatkan banyak celah.
Bahan baku yang tidak terjamin, pengolahan tanpa standar higienis, distribusi tanpa rantai dingin memadai, hingga penyajian di sekolah yang serba terburu-buru.
Semua ini terjadi karena pemerintah terburu-buru menggelontorkan program tanpa memastikan infrastruktur pendukungnya siap.
Di daerah terpencil, dapur umum masih minim fasilitas. Di kota besar, vendor penyedia makanan sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Akibatnya, kualitas makanan jatuh di bawah standar yang seharusnya dipatuhi.
Pertanyaan penting lainnya: siapa yang bertanggung jawab? Apakah kementerian pendidikan, kementerian kesehatan, pemerintah daerah, atau vendor swasta?
Setiap kali kasus keracunan mencuat, jawaban yang muncul selalu sama: saling lempar tanggung jawab. Transparansi publik pun minim.
Padahal, dalam perspektif hukum administrasi dan hukum perlindungan konsumen, pemerintah sebagai penyelenggara program wajib bertanggung jawab atas keselamatan penerima manfaat.
Anak-anak sekolah bukanlah obyek percobaan kebijakan, melainkan subyek yang haknya atas kesehatan dilindungi konstitusi.
Setiap kali anak-anak keracunan, bukan hanya kesehatan mereka yang terganggu, tetapi juga kepercayaan orangtua terhadap sekolah dan negara terkikis.
Trauma psikologis muncul: bagaimana mungkin orangtua bisa tenang melepas anaknya ke sekolah jika makan siang gratis justru berujung rawat inap?
Jika dibiarkan, program MBG akan kehilangan legitimasi sosial. Dan tanpa legitimasi, program sebesar apa pun akan gagal.
Apakah program MBG harus dihentikan? Tidak serta-merta. Namun, program ini wajib dievaluasi secara menyeluruh sebelum dilanjutkan lebih jauh.
Ada beberapa syarat minimal yang harus segera dipenuhi. Pertama, audit independen atas seluruh rantai pasok, mulai dari vendor hingga distribusi.
Kedua, standarisasi ketat berupa sertifikasi keamanan pangan (HACCP atau setara) bagi semua penyedia.
Ketiga, pengawasan lokal dengan melibatkan dinas kesehatan dan dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Keempat, transparansi publik, dengan laporan terbuka terkait hasil uji laboratorium makanan serta penanganan kasus keracunan.
Kelima, penerapan bertahap, dimulai dari daerah dengan infrastruktur siap, sebelum diperluas ke seluruh Indonesia.
Pak Prabowo, rakyat tidak menolak program makan bergizi gratis. Sebaliknya, mereka mendukung sepenuh hati jika memang benar-benar menghadirkan manfaat.
Namun, ketika korban keracunan sudah menembus ribuan, pertanyaan mendasar harus dijawab dengan jujur: apakah gizi yang kita berikan kepada anak-anak ini benar-benar bergizi, atau justru berubah menjadi racun?
Melanjutkan program MBG tanpa perbaikan berarti mempertaruhkan kesehatan dan masa depan anak bangsa.
Menundanya demi evaluasi menyeluruh bukanlah tanda kegagalan, melainkan keberanian untuk mengutamakan keselamatan publik.
Karena dalam politik, banyak hal bisa dinegosiasikan. Namun, untuk kesehatan anak-anak kita, tak ada kompromi yang bisa diterima.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
5.360 Siswa Keracunan MBG, Siapa yang Bertanggung Jawab? Nasional 20 September 2025
/data/photo/2025/08/28/68afae0c92a9c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)