Antisipasi Banjir Produk Petrokimia China Murah, Pengusaha Minta Safeguard

Antisipasi Banjir Produk Petrokimia China Murah, Pengusaha Minta Safeguard

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mendorong pemerintah untuk mengambil langkah perlindungan berupa safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atas produk petrokimia impor dari China. 

Hal ini seiring dengan kondisi oversupply pasokan, tekanan daya beli domestik, hingga penerapan tarif Trump untuk produk China yang tinggi. Alhasil, Negeri Tirai Bambu itu mengalihkan ekspor Amerika Serikat (AS) ke Asia. 

Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan, Indonesia harus cepat menerapkan tindakan pengamanan untuk mengantisipasi risiko banjirnya produk petrokimia China. Dia memperkirakan hanya dalam beberapa bulan pasar domestik akan terancam. 

“Pemerintah harus segera melakukan investigasi tindakan pengamanan atau perlindungan, baik melalui safeguard maupun anti-dumping,” ujar Fajar kepada Bisnis, Kamis (11/9/2025). 

Saat ini, dia menyebut, bahan baku plastik berupa polypropylene (PP) tahun 2023 impor dari China sekitar 70.000 ton, kemudian pada 2024 melonjak jadi 160.000 ton. Bahkan, dia memperkirakan produk polypropylene (PP) impor dari China akan tembus ke angka 200.000 ton. 

Tak hanya itu, impor produk petrokimia lainnya seperti polietilen tereftalat (PET) hingga polivinil klorida (PVC) juga terus meningkat. Produk PET dari China disebut kini telah tembus di angka 250.000 ton dan PVC sebanyak 200.000 ton yang masuk ke Indonesia. 

Sementara itu, secara keseluruhan produksi petrokimia nasional mencapai 3,1 juta ton. Kendati demikian, serapan di hilir tidak optimal lantaran utilitas produksinya hanya 60%. Hal ini membuat produktivitas di hulu ikut turun di bawah 70%. 

Kendati demikian, untuk menjaga keberlanjutan usaha, pengusaha yang memproduksi PET mulai mengincar peluang pasar AS yang ditinggalkan China. Terlebih, tarif produk Indonesia ke AS termasuk rendah yakni 19%.

“Karena China tidak bisa masuk, kita masih bisa ekspor. Memang harus jual lebih murah, tapi itu lebih baik daripada rugi besar atau tutup,” tuturnya. 

Sementara itu, untuk produk PVC, Indonesia akan menggenjot ekspor ke wilayah Asia Selatan. Di sisi lain, dia juga berharap ekspor di sektor hilir seperti produk tekstil dan packaging terus mengingat agar serapan petrokimia lebih optimal. 

“Tetapi produk jadi seperti packaging dan tekstil, peluangnya masih belum efektif karena regulasi masih panjang,” pungkasnya.