Bisnis.com, JAKARTA — Pembangunan hunian vertikal seperti apartemen, rumah susun, hingga flat menjadi solusi paling realistis untuk menekan biaya kepemilikan properti di tengah tingginya harga tanah yang melonjak dari tahun ke tahun.
Principal arsitek dari Nimara Architects Rabani Kusuma Putra mengatakan persoalan hunian yang paling mahal saat ini bukan bangunannya, melainkan tanahnya. Dengan konsep vertikal, beban harga tanah bisa dibagi ke banyak kepala, sehingga harga hunian jadi relatif lebih terjangkau.
Dia menjelaskan fenomena ini sudah lazim terjadi di negara-negara maju seperti Singapura, di mana apartemen menjadi bentuk hunian umum. Namun, di Indonesia masih banyak masyarakat yang beranggapan memiliki tanah sendiri adalah simbol kesuksesan, sehingga hunian vertikal belum sepenuhnya diminati.
“Padahal, memilih rumah tapak dengan harga murah di pinggiran kota juga memiliki konsekuensi lain. Mobilitas ke pusat ekonomi atau perkantoran bisa memakan waktu sangat panjang,” ujarnya kepada Bisnis dikutip Minggu (7/9/2025).
Hal ini, lanjutnya, menyebabkan kualitas hidup masyarakat menjadi kurang baik. Berangkat subuh, pulang larut malam sehingga waktu istirahat berkurang.
Dia menilai perlu adanya perubahan paradigma, khususnya untuk generasi muda yang mulai mencari hunian pertama. Hunian vertikal di pusat kota bisa ditawarkan dengan unit berukuran lebih compact, harga terjangkau, namun tetap nyaman untuk dihuni.
Bahkan konsep kos modern yang dibuat vertikal bisa menjadi pilihan karena fleksibel untuk dihuni sendiri atau disewakan kembali.
Selain faktor harga, lanjutnya, desain bangunan juga dinilai menjadi kunci penting dalam menarik minat pasar. Hunian dengan desain menarik, pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik, serta ruang komunal untuk interaksi sosial akan memiliki nilai lebih, meski dibangun dengan biaya relatif murah.
“Generasi muda sekarang tidak hanya mencari tempat tinggal, tapi juga lingkungan hidup yang sehat dan punya ekosistem. Developer jangan hanya mengejar keuntungan, tapi juga harus menghadirkan aspek keamanan, kenyamanan, serta ruang interaksi bagi penghuni,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Adriadi Dimastanto menuturkan tantangan utama dalam penyediaan hunian terjangkau di perkotaan bukan sekadar soal harga rumah, tetapi juga lokasi.
Banyak program rumah murah yang sudah digulirkan pemerintah seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena lokasinya jauh dari pusat aktivitas ekonomi.
Akibatnya, masyarakat harus menanggung biaya transportasi tinggi dan waktu perjalanan yang panjang.
“Yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya adalah hunian murah di pusat kota atau dekat dengan tempat bekerja. Commuting 1–2 jam sekali jalan, total bisa 4 jam per hari, jelas tidak sehat,” ujarnya.
Namun, harga tanah di pusat kota yang sangat mahal membuat penyediaan hunian murah sulit dilakukan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dinilai perlu memanfaatkan aset negara yang belum optimal, melalui konsep pembangunan vertikal.
Hunian di atas Aset Negara
Menurutnya, Jakarta sudah mulai menjajaki konsep revitalisasi aset pemerintah. Contohnya, pembangunan hunian di atas pasar, sekolah, atau kantor kecamatan.
“Bawahnya pasar, atasnya hunian. Bawahnya kantor kecamatan, atasnya hunian. Dengan begitu, tidak perlu lagi biaya besar untuk pengadaan lahan,” jelasnya.
Skema ini dinilai bisa menjawab kebutuhan rumah murah di pusat kota, terutama jika dikaitkan dengan target ambisius pemerintah membangun 3 juta rumah.
Namun, lanjutnya, tantangan yang ada bukan hanya jumlah, melainkan juga lokasi hunian yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain revitalisasi aset negara, pembangunan berbasis Transit Oriented Development (TOD) juga dipandang sebagai solusi. TOD menekankan pembangunan hunian di dekat titik-titik transit seperti stasiun KRL, sehingga masyarakat bisa menghemat waktu dan biaya transportasi.
“Fokus TOD sebaiknya diarahkan untuk hunian murah terlebih dahulu. Memang tetap perlu ada komersialnya, karena sektor swasta tentu membutuhkan return yang menarik. Jadi bisa ada kombinasi hunian murah dengan pengembangan komersial di sekitarnya,” katanya.
Meski demikian, tantangan besar tetap ada, kepemilikan lahan. Sebagian besar lahan di sekitar titik transit sudah dikuasai oleh perorangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemetaan atau mapping yang kuat untuk mengetahui lahan negara, BUMN, atau BUMD mana saja yang masih potensial dimanfaatkan.
