Achmad menegaskan, inti masalahnya bukan hanya angka, melainkan rasa keadilan dan relevansi kinerja. Solusinya harus berlapis. Pertama, transparansi kinerja yakni ukuran keberhasilan bukan sekadar jumlah kehadiran rapat, melainkan RUU prioritas yang benar-benar disahkan, kualitas pengawasan anggaran, dan bukti advokasi isu-isu dapil yang berdampak langsung (harga pangan, layanan kesehatan, peluang kerja).
Kedua, reform kontrak sosial: publik menerima penghasilan besar jika dibarengi standar kerja berbasis target dan sanksi yang jelas ketika target tak tercapai.
Ketiga, keterbukaan aset dan konflik kepentingan: pelaporan LHKPN yang diaudit acak, penelusuran benturan kepentingan, serta publikasi rapor kinerja tahunan setiap anggota.
“Dengan tiga hal itu, pemangkasan tunjangan menjadi simbol perubahan, bukan sekadar kosmetik fiskal,” pungkasnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3408911/original/032645300_1616488392-20210323-DPR-Sahkan-RUU-Prolegnas-2021-2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)