Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mencanangkan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih sebagai jaringan distribusi komoditas dan bahan pokok hingga akar rumput. Pada saat bersamaan, kalangan pengamat mengingatkan perlunya aspek pengawasan yang ketat terhadap risiko yang ada.
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi menyampaikan bahwa intisari program 80.000 Kopdes Merah Putih adalah kehadiran negara dalam menyalurkan kebutuhan masyarakat ke tangan pertama, terutama untuk barang-barang yang disubsidi.
Menurutnya, pemerintah selama ini telah memberikan subsidi kepada masyarakat melalui bahan pokok seperti gas, beras, sembako lainnya, hingga kebutuhan pertanian seperti pupuk. Namun, proses penyalurannya terhambat karena rantai distribusi yang dinilai terlalu panjang, misalnya melalui tengkulak.
“Jadi Kopdes Merah Putih ini sebenarnya adalah alat negara untuk melakukan intervensi terhadap distribusi kebutuhan-kebutuhan strategis. Itu intisarinya, negara punya jalur distribusi,” kata Budi dalam wawancara khusus dengan Bisnis di kantornya, Rabu (3/9/2025).
Dia melanjutkan, penyaluran barang bersubsidi ke masyarakat selama ini kerap kali tidak tepat sasaran, khususnya bahan bakar minyak (BBM) hingga tabung gas elpiji. Budi menilai hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk diselesaikan agar pengeluaran masyarakat dapat berkurang, karena memiliki opsi membeli barang yang lebih murah melalui Kopdes.
Pendekatan Top-Down Disorot
Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa pengawasan perlu dilakukan terhadap beberapa aspek Kopdes, mengingat pendekatan dari atas ke bawah (top-down) yang diterapkan dalam pembentukannya.
Menurutnya, hal ini membuka peluang bahwa terdapat intervensi politis dari persiapan manajerial Kopdes di masing-masing wilayah.
“Jadi harus diawasi dan juga harus dipastikan ya bahwa Kopdes Merah Putih ini juga tidak kental intervensi politisnya dari sisi persiapan manajerial sebagai koperasi, karena dari awal memang sifatnya sudah top-down, bukan swakelola,” kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (4/9/2025).
Terkait visi jaringan distribusi, dia justru menyatakan risiko yang membayangi Kopdes adalah kehadirannya yang mensubstitusi pedagang dan pengepul, sehingga seolah-olah memangkas rantai distribusi.
Padahal, menurut Bhima, hal ini justru menjadi disrupsi negatif terhadap lapangan kerja yang sebelumnya telah ada.
Selain itu, dia juga mempertanyakan aspek keberlanjutan dari Kopdes, mengingat manajemen yang belum teruji usai peluncurannya beberapa waktu lalu.
Apabila hal ini tidak diatasi saat proses distribusi bahan pokok dimulai, maka dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap perekonomian daerah.
“Nah, jangan sampai Kopdes Merah Putihnya tidak siap menyalurkan produk-produk untuk masyarakat, terutama subsidi. Itu efeknya justru akan membuat inflasi terjadi di daerah,” tutur Bhima.
Sementara itu, Akademisi sekaligus Pengamat Koperasi Rully Indrawan menyampaikan bahwa Kopdes Merah Putih semestinya bisa menjadi perangkat negara dalam menyalurkan barang-barang bersubsidi secara lebih tepat sasaran.
Namun demikian, dia menyoroti perihal model bisnis dan regulasi program prioritas pemerintah itu yang masih perlu dibuktikan secara konkret.
“Model bisnis dan regulasi yang mendukungnya membutuhkan validasi agar harapan itu bisa terwujud,” kata Rully saat dihubungi.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa anatomi persoalan yang dihadapi oleh Kopdes Merah Putih belum sepenuhnya terpetakan secara jernih. Hal ini dinilai menjadi tantangan, bahwa orkestrasi program yang dijalankan belum optimal.
“Memahami konsep close loop untuk Koperasi Desa Merah Putih pun tampaknya masih diperdebatkan,” pungkas Rully.
