JAKARTA – Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang sukses dan bahagia. Menurut psikolog dari Yale University, kunci utamanya bukan hanya kecerdasan atau prestasi akademik, melainkan kemampuan mengelola emosi.
“Regulasi emosi sebagai superpower yang dimiliki orang-orang paling sukses dan kreatif,” kata Zorana Ivcevic Pringle, PhD, peneliti senior di Yale Center for Emotional Intelligence, dikutip dari laman CNBC International.
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengendalikan perasaan, baik itu menyenangkan maupun sulit.
“Mengatur emosi bukan sekadar soal merasa bahagia. Ini adalah kemampuan menghadapi ketidakpastian dengan tenang, menerima rasa frustrasi, dan tetap bergerak maju,” jelas Pringle.
Artinya, anak-anak perlu belajar rasa kecewa, marah, atau cemas itu wajar, tetapi mereka juga bisa memilih cara merespons perasaan tersebut.
Dalam proses belajar dan bertumbuh, anak pasti mengalami kegagalan dan rasa frustrasi. Bila mereka tidak terbiasa mengelola emosi, pengalaman itu bisa membuat mereka mudah menyerah.
“Orang butuh seluruh rentang emosi untuk bisa sukses dalam pekerjaan maupun kehidupan,” tegas Pringle.
Anak yang mampu mengatur emosinya akan lebih tangguh, fokus, dan kreatif dalam mencari solusi.
Cara Melatih Sejak Dini
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa mulai diajarkan orang tua:
1. Gunakan Aktivitas dengan Bijak
Orang yang pandai mengatur emosi sangat berhati-hati dalam memilih bagaimana mereka menghabiskan waktu. Mereka tahu mana aktivitas yang menguras energi dan memberikan semangat. Strategi ini disebut situation selection.
Bukan berarti menghindari tantangan, tapi tetap melangkah dengan berpijak pada nilai dan tujuan pribadi. Misalnya, anak mengerjakan PR terasa berat dan penuh hambatan. Namun, bila sejak awal kita sadar bahwa rasa tidak nyaman itu hanya sementara dan hasil akhirnya berharga, maka emosi lebih mudah terkendali.
2. Ubah Lingkungan
Pringle mencontohkan dirinya harus membagi waktu antara pekerjaannya sebagai peneliti dengan tenggat penerbitan. Sulit baginya beralih dari analisis data ke menulis. Solusinya adalah mengubah tempat kerja.
“Alih-alih menulis di meja kerja, saya pergi ke Barnes & Noble. Itu memberi sinyal ke otak bahwa ini tugas berbeda dengan tujuan berbeda,” katanya.
Dengan mengubah lingkungan, anak merasa lebih bebas dan progresnya lebih konsisten. Mengganti suasana membantu anak untuk mengelola emosinya.
3. Alihkan Perhatian
Seperti rasa sakit fisik yang bisa berkurang dengan distraksi, emosi negatif pun demikian. Jika anak frustrasi, maka beristirahat sejenak atau mengerjakan hal lain agar membantu meredakan emosi sekaligus memberi perspektif baru.
Sebuah studi menemukan anak menjadi kreatif saat menghadapi target menantang dan mampu berganti fokus antar-tugas.
4. Ubah Cara Pandang terhadap Kegagalan
Kegagalan biasanya memunculkan kecewa, frustrasi, hingga putus asa. Itu wajar, tapi bisa jadi penghalang untuk mencoba lagi.
Pringle menyarankan agar anak tetap muncul rasa penasaran. Terkadang rasa cemas bukan berarti anak lemah, melainkan sungguh peduli pada sesuatu.
5. Ubah Reaksi, Bukan Sekadar Ekspresi
Sering kali anak dituntut untuk tetap ramah meski sebenarnya sedang lelah. Kondisi ini disebut emotional labor. Menurut para ahli, ada dua cara supaya anak bisa menghadapi situasi semacam ini.
Pertama, surface acting, yaitu berpura-pura merasakan emosi yang dituntut. Cara ini mungkin bisa berhasil sesaat, tetapi cenderung melelahkan dan menguras energi. Kedua, deep acting, yakni berusaha sungguh-sungguh mengubah perasaan agar benar-benar selaras dengan situasi.
“Deep acting lebih baik, karena mendorong anak menuju tempat yang lebih tulus, termotivasi, dan kreatif.” tutur Pringle.
