Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
DI TENGAH
ketegangan sosial dan demonstrasi beberapa hari terakhir, darurat sipil mencuat sebagai narasi untuk merespons peningkatan eskalasi demonstrasi.
Darurat sipil merupakan dalam tingkatan keadaan darurat sebagaimana diatur Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
UU a quo menetapkan 3 (tiga) tingkatan keadaan bahaya, yakni tingkatan keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang.
Meskipun sejumlah pihak, seperti Wakil Panglima TNI dan Ketua Komisi I DPR, menegaskan dan/atau meyakini tidak ada skenario menuju penetapan darurat militer, tetapi kemunculan wacana tersebut sebagai upaya dalam mengembalikan kondusifitas masyarakat memperlihatkan kegagalan pihak-pihak terkait, terutama jika berasal dari unsur pemerintah, dalam mendeteksi akar persoalan.
Meskipun tidak ditetapkan, narasi darurat sipil telah muncul 2 (dua) kali dalam pemerintahan Joko Widodo, terutama pada periode ke dua.
Pertama, disampaikan Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2020, sebagai wacana untuk menghadapi penyebaran wabah Covid-19, selain dengan menjalankan pembatasan sosial skala besar.
Ke dua, secara tiba-tiba disampaikan oleh salah seorang anggota DPR Komisi I pada 10 Februari 2023, dalam merespons penyanderaan pilot pesawat Susi Air oleh TPNPB-OPM.
Dua istilah darurat sipil dalam bentuk wacana dan pernyataan tersebut sama-sama mendapat kritikan keras dari publik.
Bukan hanya implikasi pendekatan yang digunakan jika status tersebut ditetapkan, tetapi juga kondisi untuk menetapkan status tersebut yang dianggap belum terpenuhi.
Ketentuan mengenai kondisi tersebut diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Pertama, apabila keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Kedua, timbul perang atau bahaya perang di wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
Ketiga, hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Pada kondisi pertama, tentu perlu digarisbawahi bahwa semestinya negara telah memiliki kesiapan-kesiapan tertentu dalam mengantisipasi potensi ancaman yang dimaksud.
Sebab, ancaman-ancaman tersebut tentu datang tidak secara tiba-tiba, sehingga mekanisme preventif dapat diupayakan.
Namun, dalam 2 episode munculnya istilah darurat sipil tersebut, bagian ini selalu tidak maksimal. Sehingga, penetapan status darurat sipil cenderung dianggap publik sebagai jalan pintas pemerintah dalam mengarusutamakan pendekatan keamanan untuk segala persoalan.
Wacana penerapan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19 di awal mendapat penolakan masyarakat.
Terlebih jika melihat jejak pemerintah di awal yang justru memperlihatkan ketidakseriusan dan ketidaksiapannya dalam menangani wabah ini.
Misalnya, beberapa pejabat yang mencandakan istilah corona dan model penanganan yang tidak berbasis ilmiah. Terlebih dengan kondisi serba kekurangan alat-alat kesehatan.
SETARA Institute dalam siaran persnya (31/03/2020) menjelaskan bahwa wacana penerapan pembatasan sosial disertai kebijakan darurat sipil tersebut mencerminkan watak pemerintah yang ingin menggunakan jalan pintas dalam mengatasi wabah Covid-19 tanpa memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga negara melalui Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Begitupun pernyataan salah satu anggota DPR Komisi I tersebut bahwa Papua berada dalam status Darurat Sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK) dalam siaran persnya (14/2) menjelaskan bahwa pernyataan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga melampaui kewenangannya.
Sebab tidak pernah ada pernyataan Presiden mengenai penetapan status tersebut sebelumnya, baik untuk sebagian maupun seluruh wilayah negara.
Adapun yang memiliki kewenangan untuk menyatakan keadaan darurat sipil untuk seluruh atau sebagian dari wilayah negara adalah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
Penerapan status darurat sipil tentu tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan matang, sebab pelbagai implikasi serius mengekor di belakangnya. Status darurat sipil memiliki cara penyikapan yang berbeda dibanding status tertib sipil.
Implikasi tersebut dapat berupa pengarusutamaan pendekatan keamanan dan regresi demokrasi.
Maka, salah satu desakan koalisi masyarakat sipil untuk RSK adalah anggota DPR Komisi I tersebut segera mengklarifikasi dan mencabut pernyataannya terkait dengan status darurat sipil di Papua.
Dalam konteks Papua, misalnya, penetapan status darurat sipil hanya akan menguatkan spiral kekerasan di Papua.
Sebab, selama ini pendekatan keamanan cenderung menjadi opsi utama pemerintah pusat dalam menangani persoalan di Papua, seperti melalui penambahan pasukan, operasi keamanan, serta terbaru rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam).
Implikasinya tentu potensi jatuhnya korban semakin luas dari pelbagai pihak.
Kenapa kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan oleh pemerintah pusat menjadi persoalan dalam darurat sipil di Papua?
Sederhana, perlu digarisbawahi jika status darurat sipil diterapkan, maka penguasa darurat sipil daerah (Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II) dalam melakukan wewenang dan kewajibannya menuruti petunjuk dan perintah yang diberikan penguasa darurat sipil pusat, yakni Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan bertanggung-jawab kepadanya, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
Selain itu, tentu menjadi pertanyaan umum mengenai implikasi kasus penyanderaan pesawat di Papua tersebut, apakah memang harus dengan mengubah status daerah menjadi darurat sipil?
Apakah instrumen hukum dan aparat keamanan tidak bisa melakukan tindakan sebagaimana operasi-operasi seperti biasa?
Penetapan status tanpa pertimbangan demikian justru dapat menjadi preseden di masa mendatang ihwal tidak adanya pertimbangan yang matang dalam penetapan status darurat sipil ini.
Implikasi lanjutannya, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan dan kriteria kondisi yang memadai hanya akan mempercepat terjadinya regresi demokrasi.
Sebab, jika diperhatikan, muatan pengaturan dalam UU (Prp) No. 23/1959 memfasilitasinya, serta cenderung mengarah kepada otoritarianisme, terlebih muatan UU a quo cenderung mengatur wewenang dan kewajiban penguasa darurat sipil, bukan hak masyarakat.
Meskipun juga dapat dipahami bahwa hal tersebut dilatarbelakangi untuk menghadapi ancaman. Namun, muatan pengaturan tersebut dapat menjadi bias lantaran, sekali lagi, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan.
Muatan pengaturan yang dimaksud, misalnya, hak penguasa darurat sipil untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga (Pasal 13).
Dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa (Pasal 14).
Mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telpon atau radio (Pasal 17).
Membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 17), dan memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai (Pasal 20).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi Nasional 3 September 2025
/data/photo/2025/09/02/68b6ea59f3707.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)