Bisnis.com, JAKARTA – Krisis politik Thailand pasca-pemakzulan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mengancam memperdalam perlambatan ekonomi dan memicu ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih agresif.
Mahkamah Konstitusi Thailand pekan lalu memberhentikan Paetongtarn karena pelanggaran etika, memicu perebutan kekuasaan antara dua blok politik untuk menunjuk perdana menteri baru. Keduanya sedang melobi dukungan dari partai yang mendesak digelarnya pemilu ulang dalam beberapa bulan ke depan.
“Jika ketidakpastian politik berujung pada pemilu kilat, prosesnya bisa memakan waktu dan menekan momentum pertumbuhan yang sudah melemah,” ujar ekonom Oversea-Chinese Banking Corp., Lavanya Venkateswaran dikutip dari Bloomberg pada Selasa (2/9/2025).
Perekonomian Thailand sebelumnya sudah dihantam berbagai tekanan, mulai dari tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump hingga konflik perbatasan dengan Kamboja.
Bank of Thailand sejak Oktober telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin menjadi 1,5%. Bank sentral menegaskan pemangkasan tambahan baru akan dilakukan jika ada pelemahan signifikan dalam prospek pertumbuhan atau muncul guncangan tak terduga.
Menurut ekonom ANZ Group Holdings Ltd., Krystal Tan, jika keterlambatan kebijakan dan guncangan kepercayaan terus berlanjut, Bank of Thailand bisa mempercepat langkah pelonggaran.
Namun, dampaknya dinilai terbatas karena adanya kendala struktural dan tekanan eksternal. Tan memperkirakan akan ada pemangkasan 25 basis poin pada kuartal IV/2025.
Lobi politik untuk membentuk pemerintahan baru dimulai akhir pekan lalu. Anutin Charnvirakul, pengusaha yang beralih menjadi politisi, muncul sebagai kandidat terkuat setelah Partai Bhumjaithai menjajaki koalisi dengan Partai Rakyat, kelompok oposisi terbesar di parlemen beranggotakan 500 kursi.
Namun, Partai Pheu Thai yang didukung keluarga Shinawatra juga mengklaim memiliki cukup dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Partai tersebut bahkan menyatakan siap menerima syarat dari Partai Rakyat. Pemungutan suara di parlemen untuk menentukan perdana menteri baru diperkirakan berlangsung pekan ini.
“Pergantian perdana menteri ke partai lain akan mengubah arah kebijakan secara menyeluruh, termasuk kebijakan ekonomi, yang bisa menimbulkan ketidakpastian setidaknya dalam jangka pendek,” ujar ekonom Standard Chartered Plc, Tim Leelahaphan, yang memprediksi adanya pemangkasan 50 basis poin pada rapat kebijakan 8 Oktober mendatang.
Nomura Holdings Inc. sebelumnya memperkirakan suku bunga terminal Thailand akan turun di bawah 1% dan memperingatkan risiko penurunan peringkat kredit oleh Moody’s Ratings akibat meningkatnya ketidakpastian politik dan lemahnya pertumbuhan ekonomi.
Dalam analisis terbarunya, Moody’s menilai politik Thailand yang terpolarisasi, dengan seringnya pergantian pemerintahan dan rapuhnya koalisi, telah menahan laju investasi serta menghambat reformasi struktural.
Salah satu kabar positif adalah parlemen telah mengesahkan anggaran belanja 3,78 triliun baht (US$117 miliar) yang akan berlaku mulai 1 Oktober.
Persetujuan dari Senat diperkirakan akan menyusul pada Selasa ini, sehingga memberi kelegaan bagi investor dan mencegah kebuntuan politik seperti yang terjadi pada 2019.
Meski demikian, kesepakatan dagang Thailand-AS yang masih dalam tahap negosiasi rinci bisa terpengaruh gejolak politik, terutama jika parlemen dibubarkan. Pasalnya, sejumlah ketentuan penting terkait pemangkasan tarif impor produk Amerika memerlukan persetujuan legislatif.
“Penyaluran anggaran, pelaksanaan proyek, investasi, dan kesepakatan dagang dengan AS akan terganggu jika terjadi kebuntuan politik. Tidak ada kabar baik,” kata Kepala Ekonom Kasikorn Research Center, Burin Adulwattana.
