Sekelumit Kisah Surabaya Lautan Api: Rakyat dan Polisi Jadi Korban, Gubernur Khofifah Terkena Lemparan Botol

Sekelumit Kisah Surabaya Lautan Api: Rakyat dan Polisi Jadi Korban, Gubernur Khofifah Terkena Lemparan Botol

Surabaya (beritajatim.com) Selama dua hari terakhir, Jumat sampai Sabtu, 29-30 Agustus 2025, kota Surabaya mendadak jadi lautan api. Berbagai fasilitas umum rusak. Mulai dari kursi dan hiasan taman, lampu jalan, hingga tanaman dan pot di sepanjang jalur hijau. Sirine ambulance dan pemadam kebakaran saling berbalas. Arus lalu lintas utamanya di kota Surabaya lumpuh hingga belasan jam.

Dengan semua yang terjadi selama dua hari, massa aksi solidaritas hanya berhasil menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada hari kedua. Tidak ada anggota DPRD Kota atau Provinsi yang hadir di tengah massa aksi. Padahal kemarahan massa di Surabaya sama dengan kota lain. Marah dengan berbagai kemewahan dan fasilitas yang diterima oleh anggota dewan. Hingga memunculkan teriakan yang sama dari emosi yang berbeda. Bubarkan DPR.

Aksi sudah berlangsung kisruh semenjak hari pertama pada Sabtu (29/8/2025). Massa yang didominasi pakaian hitam-hitam seolah sudah ‘berperang’ melawan aparat yang berjaga di Gedung Grahadi sejak sore. Tampak aparat yang berjaga di lokasi hanya bersikap ‘bertahan’. Tidak agresif. Tidak seperti demo-demo sebelumnya di Jawa Timur.

Sejumlah petugas yang ditemui di depan Gedung Negara Grahadi mengatakan bahwa ada instruksi dari pimpinan agar para anggota di lapangan bersikap pasif. Karena sehari sebelumnya institusi Polri menjadi sorotan usai Affan Kurniawan salah satu Driver Ojol di Jakarta tewas dilindas mobil rantis saat demo di kawasan Tanah Abang.

Anggota di lapangan yang tidak berseragam cenderung hanya memantau situasi. Sembari menghimbau masyarakat yang hendak masuk ke Jalan Gubernur Suryo agar putar balik. Padahal, pada demo sebelum-sebelumnya di lokasi yang sama, petugas kepolisian aktif dan sigap menangkap oknum peserta demo yang membuat kerusuhan. Sehingga, hampir seluruh demo di Grahadi selalu dalam kondisi terkendali.

Sementara pasukan Brimob dan Dalmas menjadi garda terdepan untuk mempertahankan dan mengendalikan massa aksi. Para pasukan yang sudah dilatih untuk menghadapi demo itu sempat kocar kacir. Hitungan beritajatim yang berada di lokasi, pasukan kepolisian berseragam itu dua kali mundur dan membubarkan barisan. Bukan karena perintah komandan. Tapi, karena massa aksi berhasil mengembalikan gas air mata yang ditembakan polisi.

Sejumlah petugas kepolisian menjadi korban dalam aksi hari pertama di Grahadi. Pun di pihak peserta aksi, korban juga berjatuhan. Tim medis dengan membawa bendera tanda palang merah yang diikatkan di tongkat pramuka tidak berhenti melakukan penyelamatan kepada kedua belah pihak.

Aksi hari berlangsung hingga Adzan Subuh dikumandangkan. Para massa aksi yang terus terpecah dan didorong mundur oleh petugas hingga ke Jalan Pemuda, Jalan Walikota Mustajab hingga Jalan Panglima Sudirman memilih berkeliling kota Surabaya.

Aksi massa membakar hampir semua pos polisi yang berdiri di pusat kota hingga Bundaran Waru. Salah satu yang paling mencekam adalah pembakaran pos polisi Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo. Disepanjang jalan Darmo, ada 4 titik api yang besar. Tidak ada pemadam. Tidak ada petugas kepolisian. Hanya ada massa aksi dan warga sekitar yang mengabadikan momen langka di Kota Surabaya itu dengan gawainya.

Tidak hanya membakar pos polisi, massa aksi juga merusak kantor Polsek Tegalsari. Mereka melempari batu. Masuk ke dalam ruang depan Polsek Tegalsari dan menghancurkan semua barang yang ada di lokasi. Massa aksi juga mencoba menyerang Polsek Wonokromo. Namun penyerangan itu gagal. Kapolsek Wonokromo Kompol Hegy Renata bersama anggotanya dibantu dengan warga Joyoboyo berhasil menggagalkan niat para peserta aksi massa.

Saat itu arus lalu lintas di pusat kota Surabaya lumpuh. Tidak ada sepeda motor yang melintas. Hanya ada massa pendemo, anggota kepolisian yang bertahan dengan tameng, dan nyala api dari fasilitas umum yang dibakar massa. Kondisi begitu mencekam. Para pengusaha yang memiliki tenant di pusat Surabaya kompak menutup usahanya. Para sekuriti disiagakan. Tidak ada yang berani membuka gerbang pagar tenant. Termasuk Tunjungan Plaza (TP) Mall Surabaya.

Aksi hari pertama selesai ketika para pasukan TNI berdialog dengan massa aksi. Mereka sempat berswafoto bersama dan massa sepakat membubarkan diri. Namun kondisi kota Surabaya tetap mencekam. Tidak ada kepastian saat itu apakah krisis di Surabaya sudah selesai. Sejumlah pihak menilai akan ada aksi lanjutan yang lebih besar. Lantaran belum ada langkah konkret pemangku jabatan untuk menyelesaikan konflik.

Manajemen TP Mall Surabaya sempat mengeluarkan pengumuman akan menutup tenant dan meliburkan semua aktivitas pada hari Sabtu (30/8/2025) atau pada hari kedua aksi Bubarkan DPR berlangsung. Namun manajemen lantas mengeluarkan pengumuman terbaru jika TP Mall akan buka pukul 16.00 dan tutup seperti biasa. Sayangnya, karena kondisi memanas. Manajemen memutuskan untuk tutup pukul 20.00 atau 2 jam lebih cepat.

Aksi hari kedua dimulai pada Sabtu siang di depan Polda Jawa Timur. Para mahasiswa dari sejumlah kampus berorasi di depan gedung Polda Jatim dengan menggunakan pengeras suara dari mobil komando. Aksi di Polda Jatim berlangsung kondusif. Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto muncul menemui pendemo. Ia naik ke mobil komando menjadi satu dengan mahasiswa.

Sebagai orang nomor satu di jajaran kepolisian Jawa Timur, Nanang berkomitmen membebaskan para massa aksi di hari sebelumnya yang diamankan polisi. Ia juga meminta maaf kepada masyarakat terkait tragedi Affan Kurniawan. Ia berkomitmen Polri akan melakukan evaluasi internal supaya kejadian serupa tidak kembali terulang.

“Kami menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Mudah-mudahan menjadi introspeksi kami supaya kejadian kedepan tidak terulang lagi,” kata Nanang.

Setelah Nanang selesai berbicara. Sempat terjadi lemparan ke markas Polda Jatim oleh segelintir oknum di bagian belakang. Beruntung, massa mahasiswa langsung memisahkan diri. Aksi provokasi dari kelompok tidak dikenal itu hanya berlangsung sebentar dan dapat ditangani massa mahasiswa.

Disaat yang sama, markas Polrestabes Surabaya juga digeruduk massa. Mereka menuntut agar massa aksi yang diamankan pada hari sebelumnya supaya dibebaskan. Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Luthfie Sulistiawan lantas menemui massa aksi. Dihadapan massa aksi, Luthfie berjanji akan segera memenuhi tuntutan mahasiswa. Aksi di Jalan Sikatan 1 itu berlangsung kondusif. Sampai, akhirnya massa aksi berbaju hitam, tidak menggunakan almamater ikut masuk barisan dan langsung melakukan pelemparan.

Pihak kepolisian tidak langsung ambil tindakan. Mereka menghimbau agar massa aksi berhenti melakukan tindakan pelemparan. Tidak digubris, pihak kepolisian lantas menembakan gas air mata dan menindak para massa perusuh. Mahasiswa yang merasa massa perusuh bukan bagian kelompok langsung memisahkan diri ke arah Jalan Veteran.

Sementara kelompok peserta aksi massa mundur hingga ke Jembatan Merah. Sepeda motor yang terparkir di sepanjang jalan Sikatan terjatuh. Batu-batu bertebaran. Total ada 41 orang yang diamankan oleh polisi. Setelah diselidiki lebih jauh, sumber beritajatim di internal kepolisian menyebut jika massa aksi yang diamankan terafiliasi dengan gangster. Namun, sampai berita ini ditulis, Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanti belum memberikan keterangan resmi.

Setelah beraksi di Polrestabes Surabaya, pukul 18.30 WIB, Massa aksi memadati Jalan Gubernur Suryo. Mereka melakukan unjukrasa di depan Gedung Negara Grahadi. Ribuan orang berteriak meminta agar Khofifah menemui massa pendemo. Sekelompok massa lantas merusak fasum di sekitar lokasi. Anehnya, Tidak ada petugas kepolisian yang datang ke Grahadi. Saat itu, hanya nampak prajurit TNI dengan pakaian dinas lengkap berjaga di halaman Grahadi dengan tameng.

Waktu terus berlanjut. Semakin malam, massa semakin brutal. Namun, tidak ada massa aksi yang menerobos masuk ke halaman Grahadi. Mereka hanya melempar batu, merusak fasum, dan memaki para penjaga. Tensi aksi lantas turun ketika Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin menemui massa aksi dan berdialog sekitar pukul 19.30. Kepada massa, Rudy menjelaskan jika di gedung Grahadi tidak ada orang lain, selain dirinya dan pasukan. Ia lantas mendengarkan tuntutan massa aksi yang minta polisi segera melakukan pembebasan terhadap pendemo yang diamankan.

“Nanti saya akan komunikasikan dengan pak Kapolrestabes. Saya kenal baik dengan beliau,” jelas Rudy.

Dialog antara peserta aksi massa dan jenderal TNI itu berlangsung 15 menit. Rudy lantas kembali masuk ke Grahadi. Situasi kembali tenang. Massa aksi bahkan menyempatkan berswafoto bersama anggota TNI yang berjaga. Tidak ada pengrusakan. tidak ada lemparan batu mengarah ke Grahadi.

Satu jam kemudian, Rudy kembali keluar menemui massa bersama dengan Khofifah. Kehadiran Khofifah disambut letusan kembang api dan aksi bakar-bakar di Jalan Gubernur Suryo. Beberapa kelompok dari barisan belakang juga sempat melempari Khofifah dengan botol dan gelas air mineral. Namun, Khofifah tak gentar. Ia tetap berdiri tegak dan berdialog dengan peserta aksi massa.

“Sekarang proses karena 41 orang. 2 sudah dilepaskan, sekarang proses pemeriksaan sedang berjalan. Kalau sudah diminta keterangan, selesai ya pasti pulang. Saya sama Pak Pangdam setelah ini langsung ke Polrestabes. Memastikan semua peserta aksi massa pulang,” ujar Khofifah.

Munculnya Gubernur Khofifah yang malam itu ditemani oleh Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin sempat membuat tensi massa aksi mereda. Kehadiran kedua pejabat tinggi Jatim itu sempat menghentikan aksi lempar batu dan pengrusakan di Grahadi. Dari dialog tersebut, massa aksi menangkap bahwa rekan-rekannya akan segera dipulangkan. Maksimal pukul 22.00 WIB.

Pukul 22.15 WIB massa mulai kembali aktif. Merasa dibohongi, massa aksi mulai melakukan pengrusakan secara brutal. Alhasil, gedung cagar budaya di kawasan Grahadi Sisi Barat (Trimurti) berhasil dibakar massa. Barang-barang di dalam gedung yang biasa dipakai wartawan Pokja Pemprov itu dijarah. Massa mulai tidak terkendali. Sampai di situasi ini, tidak nampak kehadiran polisi. Hanya anggota TNI dengan tameng yang berusaha menyetop aksi massa. Namun, pasukan berseragam hijau itu gagal membendung massa aksi yang semakin aktif.

Pihak kepolisian baru datang sekitar pukul 23.00 WIB. Mereka lantas menembakan gas air mata secara masif. Seluruh wartawan yang sedang berkumpul melakukan peliputan pun panik dan kabur. Di momen kritis saat para wartawan ada yang tertinggal dan terjebak gas air mata, sejumlah jurnalis senior mengangkat kartu pers berteriak agar polisi menyetop aksinya sejenak.

Setelah polisi masuk. Penerangan di sepanjang Jalan Gubernur Suryo dan Grahadi padam. Tidak lama setelah polisi datang, puluhan anggota TNI yang naik 5 truk turun di Jalan Basuki Rahmat depan TP Plaza. Mereka berbaris dan berjalan memasuki arena pengamanan di Jalan Gubernur Suryo dengan nyanyian.

Situasi malam kedua lebih mencekam dari malam sebelumnya. Massa aksi lalu membakar habis kantor Polsek Tegalsari. Menjarah barang-barang di dalamnya. Melempari petugas dengan batu dan terus melawan hingga pagi hari. Massa aksi dan aparat sempat bentrok di depan kantor DPRD Jatim. Massa aksi juga sempat kembali hendak menyerang Polsek Wonokromo. Namun, kembali gagal karena ada perlawanan dari warga.

Dua malam mencekam di Surabaya. Masyarakat takut. Pengusaha resah. Rasa nyaman tinggal di kota Surabaya perlahan pudar. Setiap bangunan vital di sudut kota penuh petugas jaga. Gedung Grahadi yang menjadi sasaran amuk massa selama dua hari berturut-turut kini dijaga oleh tentara. Mereka memarkirkan sejumlah kendaraan militer di halaman Grahadi. [ang/aje]