“Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita telah menjelma menjadi “Pemerintahan Wani Piro”: values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba pragmatis dan transaksional,” ujarnya.
“Program masif, berdampak luas, dan diwujudkan dalam waktu singkat adalah ciri khas Presiden Prabowo. Di satu sisi, karakter ini mendatangkan manfaat nyata bagi Indonesia yakni keputusan bergabung dengan BRICS, negosiasi dagang dengan AS yang cukup sukses, hingga kemajuan IEU-CEPA,” ia menambahkan.
“Namun di sisi lain, gaya ini juga menghadirkan risiko besar, terutama pada program yang rumit, berbiaya tinggi, jangka panjang, serta melibatkan tim besar dengan koordinasi intensif,” ujar dia.
Ia menuturkan, program Makan Bergizi Gratis, misalnya. Target 83 juta siswa setiap hari dengan biaya Rp 335 triliun per tahun, melibatkan 30.000 dapur serta rantai pasok yang panjang, jelas sangat berisiko.
“Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika kelalaian operasional menimbulkan keracunan massal?,” ujar dia.
Selain itu, Ia menilai, Program Kopdes Merah Putih juga sangat rentan. Bagaimana jika mayoritas pinjaman oleh 80.000 koperasi justru macet.
“Apakah kita siap menghadapi “krisis Kabupaten Pati” dalam skala nasional? Demikian pula program 3 Juta Rumah. Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika masyarakat berpenghasilan rendah gagal membayar cicilan KPR bersubsidi karena daya beliturun? Apakah mereka rela rumahnya disita bank?,” ujarnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5324699/original/033286300_1755858759-20250822-Noel_Ditahan-HEL_11.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)