Jika benar lebih hemat, semestinya perbandingan jelas ditunjukkan. Apakah revitalisasi menyeluruh RJA lebih mahal daripada Rp1,74 triliun, apakah biaya pemeliharaan tahunan betul-betul lebih besar dari Rp348 miliar. Tanpa hitungan transparan, publik sulit percaya klaim penghematan.
“Jika tidak, pernyataan efisiensi berubah menjadi sekadar pemindahan pos biaya dari belanja pemeliharaan aset negara ke belanja tunjangan individu tanpa bukti penghematan,” ujarnya.
Publik Butuh Hitung-hitungan Jujur
Bagi masyarakat, masalah utama bukan sekadar angka Rp50 juta. Publik ingin tahu apakah keputusan ini benar-benar efisien atau justru boros dalam jangka panjang. Transparansi data menjadi kunci agar kebijakan tidak sekadar dilihat sebagai fasilitas mewah bagi wakil rakyat.
Dia menuturkan, DPR perlu membuka engineering estimate biaya RJA yakni berapa biaya renovasi, berapa umur manfaat, serta berapa beban operasional tahunan bila tetap dipertahankan. Data ini kemudian harus dibandingkan dengan total tunjangan lima tahun untuk memastikan klaim hemat berdasar perhitungan objektif.
“Pada uji pertama, tanpa perbandingan biaya menyeluruh antara “revitalisasi RJA” versus “tunjangan lima tahun”, klaim hemat belum terbukti,” jelasnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4957294/original/020282600_1727760685-20241001-Pelantikan_Anggota_DPR_RI-ANG_1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)