Tuan Ku Rakyat Nasional 19 Agustus 2025

Tuan Ku Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 Agustus 2025

Tuan Ku Rakyat
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
TAKHTA
itu tidak selalu berwujud singgasana berlapis emas. Kadang ia hanya kursi kayu di balai desa, meja rapat di gedung parlemen, atau sepotong mikrofon yang menunggu suara. 
Namun di atas semua bentuknya, ia adalah milik satu nama yang sering diucapkan, tapi jarang benar-benar dimuliakan: rakyat.
Konstitusi kita menuliskannya dengan tegas: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
Namun, dalam hari-hari republik, takhta itu kerap dipinjam, lalu dikunci, seolah pemiliknya sudah wafat. Rakyat disebut di mimbar kampanye, diiringi tepuk tangan dan lampu sorot, tapi setelah itu disimpan di lemari kata-kata yang berdebu.
Rakyat—sebuah kata yang pernah menggetarkan rapat raksasa di Lapangan Ikada, pernah menjadi alasan darah mengalir di Surabaya, pernah diarak di jalanan dengan teriakan “Merdeka!”
Hari ini, kata itu bisa dipadatkan menjadi bagan di layar presentasi: “segmen pemilih”, “target kampanye”, “kelas menengah”.
Dari kata yang pernah berarti lautan manusia, ia berubah menjadi data yang dingin. Statistik menggantikan wajah. Grafik menutupi mata yang pernah memandang penuh harap.
Nama rakyat kini seperti nama yang hanya diingat saat pesta, lalu dilupakan ketika tagihan harus dibayar.
Janji adalah bunga yang paling cepat layu di kebun politik. Ia mekar di musim pemilu, harum di udara, dipetik oleh para calon pemimpin dan dibagikan ke setiap tangan yang mau menerima.
Namun janji punya musuh: waktu. Setelah satu demi satu musim berganti, janji itu menjadi cerita basi. Rakyat yang pernah menggenggamnya seperti anak memegang layang-layang, kini melihat benangnya putus, terbang entah ke mana.
Dan ironisnya, di negeri ini, rakyat sering belajar untuk memaafkan janji yang patah, seolah patahnya adalah takdir, bukan pengkhianatan.
Kursi kekuasaan selalu sedikit lebih tinggi dari kursi biasa. Ia membuat orang yang duduk di atasnya memandang ke bawah—kadang untuk mengawasi, kadang untuk mengabaikan.
Namun kursi itu sesungguhnya kursi sewaan. Pemiliknya bukan partai, bukan keluarga, bukan diri sendiri. Pemiliknya adalah orang-orang yang duduk di tikar rumah panggung, yang berdiri di antrian puskesmas, yang berjalan di jalanan berdebu sambil membawa cangkul.
Hanya saja, ketika kursi itu sudah diduduki, banyak yang lupa bahwa kakinya rapuh. Ia bisa ditarik kapan saja oleh tangan yang memberikannya.
Suara rakyat, dalam bilik sempit yang sunyi, adalah bisikan paling jujur di republik ini. Satu tanda di kertas itu adalah kunci yang bisa membuka Istana atau menutup karier.
Namun suara juga bisa dibungkam, bahkan sebelum diucapkan—dibeli dengan beras, diiming-imingi uang, atau diancam dengan kehilangan pekerjaan. Suara menjadi barang dagangan, padahal ia lahir dari nurani.
Di antara semua perampokan, mungkin yang paling sunyi adalah perampokan suara. Sebab ia tidak meninggalkan darah, hanya meninggalkan sunyi yang panjang.
Penguasa adalah cermin. Di permukaan yang jernih, seharusnya terpantul wajah tuannya: rakyat. Senyum dan kerut keningnya, tangis dan tawanya.
Namun cermin bisa retak, bisa berdebu, bisa diputar ke arah lain. Kita pernah melihat pemimpin yang mengaku “anak rakyat”, tetapi lebih sering bercermin pada tepuk tangan pejabat daripada pada mata anak-anak yang belajar di bangku reyot.
Cermin yang retak itu memantulkan wajah yang asing—wajah yang sibuk memoles diri sendiri, hingga lupa untuk melihat siapa yang berdiri di depannya.
Ada jalan menuju Istana yang lebar, bersih, dijaga. Ada jalan menuju rakyat yang sempit, berlubang, dan jarang dilewati.
Namun jalan yang sebenarnya bukan sekadar aspal dan batu. Jalan itu adalah keberanian untuk datang tanpa undangan, mendengar tanpa mikrofon, melihat tanpa kamera.
Sayangnya, banyak pemimpin memilih jalan yang dihiasi karpet merah, bukan jalan tanah yang penuh debu. Padahal, di jalan debu itulah rakyat tinggal.
Kekuasaan, seperti air laut, selalu menyimpan garam lupa. Begitu seseorang menyelam cukup lama di dalamnya, ia lupa rasa air tawar yang dulu diminumnya.
Lupa dari mana ia datang. Lupa siapa yang mengangkatnya. Lupa janji yang pernah diucapkan di panggung terbuka. Lupa bahwa rakyat bukan hanya angka di kotak suara, tetapi wajah yang harus ditemui kembali.
Dan ketika lupa menjadi kebiasaan, republik ini hanya akan menjadi panggung sandiwara: rakyat sebagai penonton, penguasa sebagai aktor yang memainkan naskahnya sendiri.
Semua kekuasaan, cepat atau lambat, akan pulang. Ada yang pulang dengan laporan yang jujur—tentang janji yang terpenuhi dan yang gagal. Ada yang pulang dengan alasan, menyalahkan cuaca, anggaran, bahkan rakyat itu sendiri.
Pulang bukan sekadar kembali secara fisik. Pulang adalah berani berdiri di depan tuannya, menerima tatapan mata yang tak selalu ramah, dan mengatakan: “Inilah yang bisa saya lakukan, inilah yang tidak.”
Namun kita tahu, tuan yang bernama rakyat ini sering terlalu pemaaf. Terlalu mudah memberikan kesempatan kedua, ketiga, bahkan keempat—meski luka yang sama terus diulang.
Menyebut rakyat sebagai tuan adalah pengakuan yang berat. Sebab tuan berarti berhak memerintah, menegur, bahkan memecat. 
Namun di negeri ini, rakyat sering hanya diberi hak untuk memilih, bukan hak untuk memecat di tengah jalan.
Kekuasaan yang sehat adalah kekuasaan yang sadar bahwa dirinya sementara. Kekuasaan yang mengerti bahwa ia hanya memegang mandat, bukan takdir.
Dan di hadapan “Tuan Ku Rakyat”, setiap pemimpin sejatinya hanyalah pegawai sementara—yang harus siap berhenti kapan saja, jika tuannya menghendaki.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.