Cerita Perjalanan Menuju Motaain, Titik Paling Ujung di Timur Indonesia Megapolitan 13 Agustus 2025

Cerita Perjalanan Menuju Motaain, Titik Paling Ujung di Timur Indonesia 
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        13 Agustus 2025

Cerita Perjalanan Menuju Motaain, Titik Paling Ujung di Timur Indonesia
Tim Redaksi
BELU, KOMPAS.com
– “Mendaki gunung lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudra.”
Sepenggal lirik lagu ost Ninja Hatori di atas menggambarkan perjalanan saya, Dzaky Nurcahyo—jurnalis Kompas.com— menuju salah satu titik paling timur di Indonesia.
Bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), saya berkesempatan untuk menyambangi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain yang terletak di Kecamatan Tasifeto, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (13/8/2025).
PLBN Motaain merupakan perbatasan paling timur yang memisahkan Indonesia dengan wilayah Timor Leste.
Perjalanan menuju tapal batas Indonesia saya mulai dari Jakarta dengan menumpangi pesawat pelat merah menuju Bandara El Tari, Kupang, NTT.
Saya dan tim BNPP berangkat pukul 06.45 WIB dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan ke Kupang memakan waktu kurang lebih 3 jam.
Sesampainya di Bandara El Tari, kami bergegas menumpangi mobil Toyota Innova berwarna hitam menuju PLBN Motaain.
Jefri, sopir yang membawa kami menuju PLBN Motaain mengungkapkan, perjalanan menuju Belu paling cepat sekitar 8 jam.
“Jalan menuju ke Belu penuh kelok, melewati banyak bukit,” ujar dia sambil memacu mobilnya.
Seingat saya, kami berangkat dari Bandara El Tari sekitar pukul 10.30 WITA. Saat itu, cuaca sangat terik sampai menembus kaca film mobil Jefri.
Nyaris tak ada hambatan selama perjalanan, mobil bisa dipacu dengan kecepatan rata-rata 80 KM per jam.
Saking tak ada hambatannya, saya bahkan banyak bertukar cerita dengan Jefri, yang ternyata keluarga besarnya banyak berwarga negara Timor Leste.
“Keluarga mama kebanyakan di Timor Leste. Dulu kami mengungsi ke Kupang saat ada kerusuhan,” ucap Jefri.
Sambil bercuap tentang keluarganya, tak terasa Jefri telah memacu mobilnya selama 1,5 jam.
Kami kemudian memasuki wilayah Fatuleu di Kabupaten Kupang. Fatuleu merupakan salah satu wilayah dataran tinggi di NTT.
Kata Jefri, perjalanan menantang baru dimulai di Fatuleu. Karena dari Fatuleu, kontur jalan mulai berkelok, menurun, dan naik melewati bukti.
Benar saja, tak lama setelah memasuki kawasan Fatuleu, kami disambut dengan rimbunan pepohonan yang berada di kanan dan kiri jalan.
Perut saya juga seketika terkocok karena kontur jalan berubah drastis. Saya bahkan sampai harus menahan lapar karena ditakutkan akan mual kalau mengisi perut.
Perjalanan ini terus saya alami sekitar tujuh jam hingga tiba di Kabupaten Belu sekitar pukul 18.00 WITA.
Meski tiba di Kabupaten Belu saat cahaya matahari memudar, tetapi perjalanan ke PLBN Motaain tak semudah melangkahkan kaki.
Ibu kota Kabupaten Belu, Atambua, sedang ramai-ramainya hari ini. Masyarakat di Atambua kebetulan sedang melaksanakan pawai yang membuat jalan utama diblokade.
Saya dan tim BNPP akhirnya memilih jalan memutar, yang seharusnya dari Atambua ke PLBN Motaain hanya 60 menit, menjadi 2 jam.
Kami bahkan sampai membelah hutan dan menyusuri pesisir laut karena memilih jalan alternatif.
Setelah 8,5 jam perjalanan darat, kami akhirnya tiba di PLBN Motaain dengan selamat tanpa kekurangan apapun.
Kami lalu disambut dengan sejumlah pejabat PLBN Motaain yang kebetulan tengah mempersolek area PLBN menyambut HUT ke-80 RI.
Ekspedisi wilayah perbatasan ini merupakan kerjasama redaksi Kompas.com dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Selain PLBN Motaain, ekspedisi serupa juga dilaksanakan di PLBN Motamasin dan PLBN Aruk. Anda dapat mengikuti kisah perjalanan kami beserta liputan perayaan ulang tahun Indonesia di topik pilihan
HUT ke-80 RI 2025
.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.