JAKARTA – Ikang Fawzi jadi salah satu penyanyi yang ikut menyoroti polemik hak cipta atau royalti musik yang belakangan jadi sorotan di industri musik Tanah Air. Terlebih polemik tersebut merambah hingga pada usaha kafe dan restoran.
Seperti diketahui, pemilik kafe dan restoran dihantui rasa takut setelah muncul kasus Mie Gacoan di Bali yang dilaporkan ke pihak kepolisian karena tidak membayar royalti musik.
Kasus itu sendiri sudah selesai setelah mediasi, dengan pihak Mie Gacoan membayarkan royalti sebesar Rp2,2 miliar.
Menanggapi ketakutan para pemilik kafe dan restoran, Ikang menyebut sudah sewajarnya ketika penggunaan lagu diimbangi dengan pembayaran royalti. Namun permasalahan utama yang dilihat penyanyi 65 tahun itu adalah tidak adanya penyesuaian antara tarif royalti dengan skala usaha yang harus membayarnya.
“Bahwasannya hak cipta itu mempunyai value. Itu jelas. Bahwasannya value itu diterjemahkan dengan tarif (royalti). Itu jelas. Di negara manapun seperti itu, apalagi negara-negara yang sudah maju,” kata Ikang kepada awak media di
“Orang ke WC aja kita bayar, apalagi (menggunakan) ciptaan orang. Cuma, tarifnya ini yang harus disesuaikan. Lain dong, kalau UMKM mungkin enggak, kalau yang udah gede ya (bayarnya) sekian. Ya harus ada kesadaran sama-sama untuk mendukung itu. Jadi, saling menghargai lah, enggak asal aja,” tambahnya.
Menurut Ikang, klasifikasi untuk menentukan kafe dan restoran yang harus membayarkan royalti musik harus dibuat lebih jelas. Ia pun merasa jika tarif royalti seharusnya bisa lebih dinamis.
“Angka itu masih bisa berubah, saya rasa. Kita sesuaikan kafenya kayak apa dong. Konsumennya kayak apa, menengah ke atas atau atas bener. Tapi kalau UMKM ya enggak lah,” ujar Ikang.
“Percuma juga kita maksain (UMKM), enggak ada duitnya. Iya kan? Enggak dapat apa-apa, cuman ribut doang. Ngapain? Mendingan kita selesaikan dan jalankan itu sesuai dengan targetnya. Enggak usah ribut-ribut,” imbuhnya.
Lebih lanjut, penyanyi yang dikenal lewat lagu “Preman” itu juga menyoroti kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)—yang bertugas untuk menghimpun royalti—yang masih sulit mendapat kepercayaan dari publik, terutama pengusaha kafe dan restoran serta para penulis lagu.
“Dan semua ini muaranya di LMKN sebenarnya. Kalau seandainya dia siap, dia udah terdigitalisasi, udah profesional, udah bisa memberikan laporan secara transparan, dan juga memberikan komunikasi yang baik ke berbagai pihak—orang yang punya kewajiban bayar, musisi, dan sebagainya—enggak akan terjadi seperti ini,” tandas Ikang Fawzi.
