Sidang MK, Pemerintah Sebut Modus Koruptor Lepas Jerat Hukum Berkembang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, menyebut, modus pelaku korupsi untuk lepas dari jerat hukum semakin beragam.
Pernyataan ini Eben sampaikan saat mewakili pemerintah dalam sidang Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 dan Nomor Perkara 106/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedua permohonan itu menggugat ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur pidana bagi perintangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Pemohon meminta frasa “atau tidak langsung” dalam delik perintangan itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
“Perkembangan modus operandi tindak pidana korupsi dan upaya-operasi untuk dapat lolos dari jerat hukum ataupun tidak dikenai proses hukum atau peradilan semakin beragam,” kata Eben dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Eben mengatakan, frasa “langsung atau tidak langsung” dalam pasal perintangan itu memiliki makna strategis terhadap integritas sistem peradilan tipikor.
Sebab, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga membutuhkan upaya luar biasa dan pendekatan khusus.
“Frasa ini memungkinkan hukum untuk menjangkau tindakan yang tampaknya tidak eksplisit tapi pada substansinya menghambat proses peradilan, seperti penyebaran disinformasi, tekanan sosial, atau penggunaan perantara,” tutur Eben.
Menurut Eben, jika frasa “atau tidak langsung” dihapus maka ruang penegak hukum untuk mempidanakan pelaku perintangan menjadi kecil. “Memberi celah hukum bagi pelaku yang berlindung di balik perbuatan tidak langsung,” ujar Eben.
Sebagai informasi, dalam Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 106/PUU-XXIII/2025 para pemohon merasa dirugikan karena terancam oleh keberadaan frasa “atau tidak langsung”.
Adapun Pasal 21 itu menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000.
“Frasa ‘atau tidak langsung’ pada Pasal 21 dan Penjelasannya UU Tipikor obyek permohonan
a quo
yang bisa ditafsirkan secara subjektif oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim,” kata pemohon Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025, Hermawanto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sidang MK, Pemerintah Sebut Modus Koruptor Lepas Jerat Hukum Berkembang Nasional 12 Agustus 2025
/data/photo/2025/08/12/689b34370cada.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)