Rusia Terus Mengembangkan Rudal Selama Moratorium, Bukan Cuma Punya Oreshnik

Rusia Terus Mengembangkan Rudal Selama Moratorium, Bukan Cuma Punya Oreshnik

JAKARTA – Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov mengatakan negara terus mengembangkan rudal selama masa berlakunya Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) Treaty, dengan Moskow memiliki senjata canggih lainnya selain Oreshnik.

“Ketika moratorium diumumkan, kami menegaskan moratorium tersebut hanya berlaku untuk penempatan, dan tidak menyebutkan penghentian kegiatan (riset dan pengembangan),” kantor berita RIA mengutip Ryabkov dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi pemerintah Rossiya-1, seperti melansir Reuters 11 Agustus.

“Jadi, waktu ini digunakan untuk mengembangkan sistem yang tepat dan membangun persenjataan yang cukup besar di area ini. Sejauh yang saya pahami, kami sekarang memilikinya,” ujar Ryabkov seperti dikutip RIA.

Ditanya mengenai senjata canggih selain Oreshnik, Wamenlu Ryabkov mengatakan Rusia memiliki senjata canggih lainnya.

“Oreshnik, ya, tetapi kami memiliki (senjata) lain. Kami tidak membuang waktu,” ujarnya dikutip dari TASS.

“Saya tidak bisa membahas apa yang tidak seharusnya saya bahas, tetapi kami memiliki senjata semacam itu,” tambahnya ketika diminta untuk memberikan detail.

Awal bulan ini, Rusia menyatakan akan mencabut apa yang disebutnya moratorium sepihak atas penempatan rudal jarak menengah, INF Treaty, dengan mengatakan hal ini merupakan respons yang dipaksakan terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Diketahui, perjanjian INF yang ditandatangani pada tahun 1987 oleh pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev dan Presiden AS Ronald Reagan, menghapuskan seluruh kelas senjata rudal yang diluncurkan dari darat dengan jangkauan 500 hingga 5.500 kilometer (311 hingga 3.418 mil).

Pada saat itu, perjanjian tersebut dipandang sebagai tanda meredanya ketegangan antara kedua negara adidaya yang bertikai. Namun seiring waktu, perjanjian tersebut terurai seiring memburuknya hubungan.

Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2019 di masa kepresidenan pertama Donald Trump, dengan alasan dugaan pelanggaran yang dibantah Rusia.

November tahun lalu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan Rusia telah menembakan Rusia menembakan rudal balistik ke Dnipro, menghantam target militer Ukraina pada Hari Kamis, usai Amerika Serikat dan Inggris mengizinkan Ukraina menyerang Rusia dengan senjata Barat.

Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidato yang disiarkan di televisi, mengatakan Moskow menyerang fasilitas militer Ukraina dengan rudal balistik hipersonik jarak menengah baru yang dikenal sebagai “Oreshnik”, memperingatkan lebih banyak lagi yang akan menyusul.

“Rusia menghantam sebuah pabrik kedirgantaraan Ukraina bernama Yuzhmash dengan rudal balistik hipersonik yang membawa hulu ledak non-nuklir,” kata Presiden Putin.

Presiden Putin mengatakan, rudal baru yang diluncurkan Rusia ke Ukraina memiliki kecepatan hingga Mach 10, sesuatu yang dinilainya mustahil untuk dicegat oleh sistem pertahanan Amerika Serikat di Eropa.

“Tidak ada cara untuk melawan rudal itu pada saat ini,” klaim Presiden Putin.

“Oreshnik menyerang target dengan kecepatan Mach 10, atau 2,5 hingga 3 kilometer per detik,” ungkap Presiden Putin.

“Sistem pertahanan udara modern dan sistem pertahanan rudal yang dikerahkan oleh Amerika di Eropa tidak dapat mencegat rudal semacam itu. Itu mustahil,” tandasnya.

Pemimpin Kremlin menegaskan rudal balistik hipersonik baru yang ditembakan ke Ukraina pekan ini, Oreshnik, merupakan inovasi Rusia, bukan modernisasi peninggalan Soviet dan segera diproduksi massal.