Malang, Beritasatu.com – Fenomena pengibaran bendera bergambar simbol anime One Piece menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI, belakangan menuai perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian menilainya sebagai bentuk pelecehan terhadap simbol negara, tetapi tak sedikit juga yang menganggapnya sebagai bentuk ekspresi budaya.
Menanggapi hal ini, dosen ilmu komunikasi Universitas Brawijaya (UB), Abdul Wahid menilai fenomena tersebut perlu dilihat dari kacamata semiotika, atau ilmu tentang tanda dan makna.
Ia menekankan pentingnya memahami konteks di balik simbol agar tidak terburu-buru dalam memberi penilaian terhadap sesuatu yang tengah ramai diperbincangkan publik.
“Sejak lama bendera One Piece sudah terlihat di banyak tempat, bahkan di luar negeri, dan tidak pernah menjadi masalah. Baru menjadi sorotan ketika dipasang bersamaan dengan bendera Merah Putih pada momen HUT kemerdekaan, lalu dibaca dalam konteks politik,” kata Abdul Wahid, Senin (11/8/2025).
Menurut Wahid, simbol bajak laut dalam serial One Piece pada dasarnya adalah bagian dari dunia fiksi, sama seperti ikon populer lainnya seperti Spiderman atau Superman.
“Masalah muncul ketika simbol ini dibawa keluar dari konteks hiburan dan dibaca sebagai simbol politik,” jelasnya.
Ia pun tak mengelak, kisah dalam One Piece banyak mengangkat tema ketidakadilan, perlawanan terhadap otoritas, dan dominasi kekuasaan, yang bisa dianggap mencerminkan kondisi sosial tertentu di dunia nyata.
Oleh sebab itu, tidak heran jika simbol tersebut dimaknai sebagai bentuk kritik sosial, terutama oleh kelompok-kelompok yang merasa tersisih dari kebijakan pemerintah.
“Ketika simbol ini digunakan di ruang publik, penafsirannya bisa berkembang, baik sebagai bentuk ekspresi budaya pop maupun kritik sosial, terutama oleh kelompok pinggiran yang merasa disisihkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka,” tambahnya.
Dalam semiotika, sambung Wahid, ada dua pendekatan untuk membaca makna simbol, melalui gagasan yang disepakati bersama, atau lewat bentuk visual yang terbuka untuk interpretasi. Perbedaan pendekatan inilah yang kerap memicu konflik tafsir di ruang publik.
“Masalah muncul ketika otoritas hanya menggunakan satu tafsir tunggal tanpa membuka ruang dialog,” ungkap Wahid.
Dosen FISIP UB ini menekankan, selama simbol-simbol tersebut tidak melanggar hukum, ekspresi seperti itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam sistem demokrasi.
“Kita perlu kritis, baik terhadap aturan maupun tafsir yang diberlakukan. Jika aturan dibuat untuk melindungi kepentingan bersama, tentu harus dipatuhi. Namun, jika aturan itu bias, perlu ada upaya untuk mengoreksinya,” katanya.
Pada sisi lain, ia juga mengajak para pejabat publik untuk membuka diri terhadap kritik dan membangun kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat luas.
“Kalau ingin jadi pejabat publik, harus mau belajar, mau mendengar, dan siap dikritik. Kebijakan yang dibuat seharusnya selalu berorientasi pada kepentingan rakyat luas,” pungkasnya.
