Saat Kafe Ditagih Bayar Royalti, Lagu Indonesia Raya Hanya Dibayar Sekali oleh Soekarno
Tim Redaksi
CIMAHI, KOMPAS.com –
Denting sendok di kafe kini bersaing dengan detak cemas pemiliknya. Setiap lagu yang mengalun punya harga, sebuah tagihan bernama royalti.
Namun, di tengah hiruk pikuk perjuangan hak ekonomi musisi, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” menawarkan nada yang berbeda—bukan tentang rupiah yang ditagih, melainkan tentang kebanggaan yang tak pernah lunas terbayar.
Pada 1958, sebuah amplop sederhana berisi Rp 250.000 pernah diterima WR Soepratman. Isinya, penghargaan dari Presiden Soekarno untuk mahakarya “Indonesia Raya”.
Di banyak sudut kota, musik pernah menjadi aroma tak kasatmata yang menuntun langkah.
Di kafe mungil berlampu temaram, di restoran cepat saji yang sibuk, hingga di sudut ruang tunggu stasiun, alunan lagu kerap hadir tanpa perlu tiket masuk. Ia mengalir seperti udara bebas, akrab, dan tanpa tanda terima.
Namun, zaman punya cara mengubah nada. Kini, sebelum denting gitar Piyu Padi atau melodi lembut Ahmad Dhani mengalun di sebuah ruang publik, kasir tak hanya menghitung harga kopi latte, tapi juga menghitung tagihan yang lebih sunyi: royalti.
Ya, lagu-lagu kini bukan sekadar suguhan telinga, tapi komoditas yang harus ditebus, bahkan oleh pemilik panggungnya sendiri.
Ramai sudah berita soal kafe, restoran, hingga toko yang kini wajib membayar royalti untuk setiap lagu yang mereka putar.
Wacana ini meledak setelah sebuah restoran cepat saji, Mie Gacoan di Bali kena gugatan karena memutar lagu tanpa izin. Hukuman pun jatuh: bayar royalti.
Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti mewajibkan pemilik radio membayar udara.
Tak berhenti di sana, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) membuat publik makin mengernyitkan dahi.
Katanya, bukan hanya lagu-lagu hits atau musik indie yang kena aturan, tetapi juga lagu nasional bahkan suara alam.
Di antara semua judul lagu yang dibicarakan, ada satu yang selalu punya tempat di hati negeri ini: “Indonesia Raya.”
Lagu kebangsaan yang diciptakan Wage Rudolf Soepratman ini telah menjadi pengiring upacara bendera, pembuka pertandingan sepak bola, bahkan teman tak kasatmata di acara resmi negara. Ia dinyanyikan dengan tegap, tapi jarang dipikirkan soal “harga”nya.
Ketika isu royalti lagu nasional disinggung, pihak keluarga Soepratman punya kisah yang cukup unik namun sedikit getir.
“Soal itu (royalti), keluarga dapatnya di zaman Bung Karno yang memberikan kepada ahli waris. Waktu itu jatuh kepada kakak dan adik kandungnya WR Sopratman,” kata perwakilan keluarga sekaligus pengurus Yayasan WR Soepratman, Budi Harry saat ditemui, Sabtu (9/8/2025).
Kala itu, tahun 1958, Presiden Soekarno memberikan royalti sebesar Rp 250.000 kepada keluarga. Nominal yang, di masa itu, tentu bukan angka sepele.
“Keluarga ahli waris pada saat itu mendapatkan Rp 250.000 sekitar tahun 1958. Tapi ya hanya sekali di zaman Bung Karno saja,” ujar Budi.
Lalu, setelahnya? Sunyi. Tak ada lagi royalti, tak ada amplop atau surat resmi, meski Indonesia Raya terus berkumandang dari Sabang sampai Merauke.
Lagu itu, kata Budi, kini telah menjadi public domain atau milik publik. Artinya, semua orang bebas memutarnya di mana saja, kapan saja, tanpa takut ada surat tagihan, asalkan nadanya tak diutak-atik dan liriknya tak diubah.
“Sebetulnya karena sudah menjadi
public domain
, itu (royalti) diganti namanya menjadi dana apresiasi. Tapi kami harus bersuara, bahwa sebelum
public domain,
keluarga cuma sekali menerima royalti itu di zaman Bung Karno,” ujar Budi.
Yang menarik, meski hanya sekali menerima royalti, keluarga besar Soepratman tak merasa dirugikan. Tak ada nada protes, tak ada ancaman hukum.
“Sebetulnya kita juga tidak mempermasalahkan royalti karena dengan ciptaan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kita sudah bangga sebagai keluarganya. Jadi kita enggak perlu memikirkan ekonominya lagi,” kata Budi.
Pernyataan itu terdengar seperti tamparan halus di tengah riuhnya musisi dan pencipta lagu yang kini sibuk memperjuangkan hak ekonomi mereka.
Keluarga Soepratman memilih merasa cukup dengan kebanggaan, sementara orang lain memperjuangkan lembaran rupiah yang sah secara hukum.
Tentu saja, ini bukan berarti semua musisi harus menanggalkan haknya. Tetapi pernyataan keluarga itu seperti mengingatkan kita: tak semua karya lahir demi tagihan listrik, beberapa lahir demi mengikat jiwa-jiwa yang tercerai.
Namun, di era digital yang serba diukur, musik tak lagi sekadar warisan rasa. Ia kini diatur seperti lalu lintas kendaraan. Ada lampu merah dan hijau, ada aturan main, ada biaya yang harus dibayar.
Bagi LMKN, ini soal keadilan untuk pencipta lagu yang selama ini lagunya dinikmati publik tanpa kompensasi yang layak.
Pertanyaannya, di mana batas wajar aturan ini? Apakah kita akan sampai pada hari ketika setiap rumah harus membayar royalti untuk nyanyian ulang tahun, atau setiap sekolah wajib setor untuk Mars Pramuka? Di titik inilah satire terasa menggoda, karena terkadang logika hukum dan logika keseharian tak selalu bertemu di persimpangan yang sama.
Indonesia Raya sendiri tetaplah simbol yang tak ternilai. Di setiap pengibaran bendera, ia tak hanya menjadi lagu, tapi janji-janji bahwa negeri ini akan terus tegak meski nadanya mungkin terdengar sumbang di telinga sebagian orang.
Dan mungkin, seperti kata Budi, kebanggaan itu adalah royalti yang tak bisa dibeli dan tak perlu ditagih.
Lalu, bagaimana nasib lagu-lagu lain? Di sebuah kafe kecil di Cimahi, barista kini tak hanya menakar takaran kopi, tapi juga playlist yang aman dari gugatan.
Sementara di ruang tamu rumah-rumah Indonesia, anak-anak masih bebas bersenandung Balonku tanpa takut utang. Setidaknya untuk saat ini.
Musik, sebagaimana udara, seharusnya tetap bisa dinikmati tanpa rasa waswas. Tapi di zaman ketika setiap detik dan setiap nada punya harga, kita dihadapkan pada pilihan: mau diam seperti keluarga Soepratman, atau ikut menghitung setiap sen yang keluar dari speaker.
Entah bagaimana nada masa depan akan berbunyi, tapi satu hal pasti: Indonesia Raya akan terus dinyanyikan.
Gratis atau tidak, ia akan tetap menjadi lagu yang membuat dada mengembang, meski di telinga birokrat, mungkin ia terdengar seperti kasir yang lupa memungut biaya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Saat Kafe Ditagih Bayar Royalti, Lagu Indonesia Raya Hanya Dibayar Sekali oleh Soekarno Bandung 9 Agustus 2025
/data/photo/2019/08/14/5d536a66f21f1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)