Tren Peralihan Belanja Beras dari Ritel Modern ke Pasar Tradisional, Mentan: Ini Mendorong Ekonomi Kerakyatan

Tren Peralihan Belanja Beras dari Ritel Modern ke Pasar Tradisional, Mentan: Ini Mendorong Ekonomi Kerakyatan

JAKARTA – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyoroti fenomena menarik terkait lonjakan penjualan beras di pasar tradisional baru-baru ini. Menurutnya, perubahan pola belanja masyarakat yang mulai beralih dari ritel modern ke pasar tradisional harus disambut positif.

Perubahan perilaku konsumen ini diduga dipicu dari temuan kualitas beras di ritel modern yang tidak sesuai dengan standar mutu. Berbeda ketika berbelanja di pasar tradisional, di mana mereka bisa melihat langsung kualitas beras yang ditawarkan.

“Ada yang menarik, fenomena menarik. Kami baru baca dari media bahwasannya penjualan di pasar tradisional meningkat karena beralih (dari ritel), karena bisa lihat langsung (berasnya),” kata Amran kepada wartawan di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis, 7 Agustus.

Kata Amran, tren ini merupakan peluang besar yang harus dicermati dan dimanfaatkan, terutama dalam konteks penguatan ekonomi kerakyatan. Ia melihat peningkatan aktivitas jual-beli di pasar tradisional sebagai sinyal positif terhadap geliat ekonomi pedagang kecil dan pelaku usaha lokal.

“Nah, ini fenomena menarik, sangat bagus. Itu sangat bagus untuk didorong. Kenapa? Mendorong ekonomi kerakyatan, meningkatkan ekonomi-ekonomi pedagang-pedagang kecil. Itu sangat menarik. Itu perlu dicermati. Itu bagus,” ucapnya.

Meskipun demikian, Mentan menegaskan kepada masyarakat agar tidak perlu khawatir terhadap beras yang beredar di ritel modern. Meski beberapa temuan menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kualitas beras dan label harga.

Mentan memastikan bahwa beras tersebut tetap aman untuk dikonsumsi. “Tapi, itu semua untuk dikonsumsi itu aman, baik, nggak masalah. Hanya saja harganya terlalu tinggi dibanding kualitasnya itu. Nggak usah khawatir,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa isu utama bukan pada keamanan pangan, melainkan pada kadar broken atau tingkat kepatahan beras yang melebihi standar mutu.

“Sebenarnya beras yang ada di ritel premium itu hanya masalah kualitas, broken-nya saja. Jadi, saya ulangi lagi, kalau medium itu broken-nya 25 persen, kalau premium 15 persen. Tetapi, kita lihat kondisi pada saat kita cek, itu broken-nya ada yang sampai 40 persen, ada 50 persen broken-nya, ada 30 persen, 35 persen, nah itu yang terjadi,” papar Amran.

Amran menilai ketidaksesuaian ini perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama pelaku usaha ritel agar masyarakat mendapatkan produk pangan yang sesuai dengan standar dan harga yang ditetapkan.