Donor ASI Tak Bisa Sembarangan, Ini Kata Dokter Anak

Donor ASI Tak Bisa Sembarangan, Ini Kata Dokter Anak

JAKARTA – Di Indonesia, praktik donor Air Susu Ibu (ASI) semakin mendapat perhatian, terutama karena belum tersedianya fasilitas resmi seperti milk bank (bank ASI) yang berstandar nasional. Meski demikian, kebutuhan akan ASI donor terus meningkat, terutama untuk bayi-bayi dengan kondisi kesehatan kritis seperti prematuritas.

Oleh karena itu, edukasi mengenai prosedur dan standar keamanan donor ASI menjadi sangat penting agar pemberiannya tidak menimbulkan risiko kesehatan baik bagi pendonor maupun penerima.

Ketua Satuan Tugas ASI dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Naomi Esthernita F.D., Sp.A., Subsp.Neo(K), menekankan bahwa proses donor ASI tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Baik pendonor maupun penerima harus memenuhi persyaratan medis tertentu, dan pelaksanaannya sebaiknya berbasis fasilitas kesehatan.

“Donor ASI tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan informasi dari internet. WHO sendiri menyatakan bahwa donor ASI tidak boleh dilakukan melalui platform daring tanpa prosedur medis yang benar. Setiap pendonor harus melalui proses screening, dan ASI yang diberikan harus melalui proses pasteurisasi,” jelas dr. Naomi dalam sebuah webinar, seperti dikutip ANTARA.

Lebih lanjut, dr. Naomi menjelaskan bayi yang layak menerima ASI donor umumnya adalah mereka yang memiliki indikasi medis jelas, seperti bayi prematur dengan berat badan di bawah 1.500 gram dan belum dapat menerima ASI dari ibunya. Pemberian donor ASI bukan untuk alasan kenyamanan semata, apalagi jika ibu bayi sebenarnya mampu menyusui.

“ASI donor hanya diberikan jika ada indikasi medis. Bukan karena ibunya tidak ingin menyusui, lalu memilih cara praktis dengan mencari donor ASI,” tegasnya.

Dari sisi pendonor, ada tanggung jawab besar yang harus dipenuhi. Seorang ibu baru bisa menjadi pendonor jika produksi ASI-nya melebihi kebutuhan bayinya sendiri. Apabila produksinya belum mencukupi untuk anaknya, maka ia tidak disarankan untuk menjadi donor karena dapat mengganggu pertumbuhan bayinya sendiri.

Selain memastikan kecukupan ASI, calon pendonor juga wajib menjalani serangkaian pemeriksaan medis untuk memastikan bahwa ia dalam kondisi sehat dan tidak membawa penyakit menular. Pemeriksaan tersebut meliputi Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, CMV (Cytomegalovirus), dan sifilis.

“Semua calon pendonor harus melalui tahapan screening yang ketat di rumah sakit. Jika hasilnya dinyatakan aman, barulah ASI tersebut bisa diberikan kepada bayi lain, dan harus melewati proses pasteurisasi untuk membunuh kemungkinan mikroorganisme berbahaya,” tambah dr. Naomi.

Walaupun Indonesia saat ini belum memiliki bank ASI resmi berskala nasional, beberapa rumah sakit pendidikan mulai mengembangkan unit-unit donor ASI sebagai langkah awal menuju sistem yang lebih terorganisir. Unit ini dapat menjadi pusat informasi dan edukasi yang valid bagi masyarakat yang membutuhkan atau ingin menjadi pendonor ASI.

“Bank ASI nasional memang belum tersedia. Tapi beberapa rumah sakit besar sudah memiliki unit donor ASI yang mengikuti prosedur medis sesuai standar,” ujar dr. Naomi.

Dengan pemahaman dan edukasi yang tepat, diharapkan masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan donor ASI dengan cara yang aman, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan medis.