Mengindonesiakan Syarikah Agar Jemaah Tak Lagi Terpisah Nasional 2 Agustus 2025

Mengindonesiakan Syarikah Agar Jemaah Tak Lagi Terpisah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Agustus 2025

Mengindonesiakan Syarikah Agar Jemaah Tak Lagi Terpisah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Haji musim 2025 Masehi/1446 Hijriah kemarin menjadi penyelenggaraan haji pertama yang disiapkan oleh delapan
syarikah
.
Syarikah
memiliki pengertian sebagai perusahaan resmi yang diberikan wewenang oleh pemerintah Arab Saudi untuk melayani jemaah haji.
Namun, dalam penerapan perdana ini, pelayanan delapan syarikah justru bikin pusing jemaah.
Kesulitan yang lazim dialami jemaah adalah pemisahan tempat menginap atau hotel para jemaah yang berpasangan, baik suami-istri, maupun lansia dengan pendampingnya.
Tak hanya pasangan atau keluarga jemaah, ada juga peristiwa pemisahan antara dokter petugas haji yang mendampingi jemaah terpisah dari jemaahnya.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief menjelaskan, masalah ini mengakar pada pengetatan syarat masuk Arab Saudi saat musim haji.
Awalnya, jemaah yang telah terjadwal untuk berangkat pada kloter-kloter tertentu harus tertunda karena visa haji yang belum diterbitkan.
Hal ini membuat beberapa kloter yang berangkat bergeser, karena hanya yang telah memiliki visa yang bisa masuk Arab Saudi, termasuk pasangan jemaah haji yang akhirnya berpisah kloter dan ditangani oleh syarikah yang berbeda-beda.
“Nampaknya jemaah yang bergeser bergabung dengan kloter sebelumnya, jemaah yang berpindah kloter itu ternyata dilayani oleh perusahaan yang berbeda. Dan karena itu, memang untuk tahun ini, kejadian-kejadian seperti itu terus kita antisipasi ke depannya. Kami juga sudah mempersiapkan langkah-langkah yang bisa dilakukan,” kata Latief, Senin (19/5/2025).
Saat itu, pemerintah Indonesia langsung berkoordinasi dengan Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Haji dan Umrah.
Seluruh data yang dimiliki, baik yang sudah tiba di Arab Saudi maupun dalam perjalanan, digabungkan, khususnya pasangan suami-istri dan keluarga jemaah.
Kementerian Agama yang saat itu sebagai penyelenggara haji juga mendorong agar pemerintah Arab Saudi membuat pola penggabungan, dan masalah tersebut akhirnya bisa teratasi dengan segera.
Agar pemisahan ini tak terulang lagi, Badan Penyelenggara (BP) Haji sebagai pemegang tongkat estafet penyelenggaraan ibadah haji akan “mengindonesiakan syarikah” yang melayani jemaah Indonesia.
Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar mengatakan, komunikasi syarikah dengan jemaah penting bisa terjalin agar hal serupa tidak terjadi lagi.
Atau ketika pemisahan kembali terjadi, syarikah dan jemaah bisa berkomunikasi secara langsung.
Caranya adalah menempatkan sebagian petugas haji Indonesia ke syarikah-syarikah yang menjadi pelayan jemaah Indonesia.
“Ada komposisi 1 persen petugas haji dari jumlah jemaah. Nanti sebagian petugas dititipkan lagi kemungkinan di syarikah-syarikah,” ucapnya.
Syarikah-syarikah ini diminta menerima petugas haji dari Indonesia untuk ditempatkan di tempat mereka.
Penerapan ini juga akan dilakukan untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang ada di Arab Saudi.
Dahnil mengatakan, pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan rumah sakit yang bersedia menerima dokter dan perawat Indonesia.
“Dan pun demikian, misalnya catering. Catering harus punya tanggung jawab untuk meng-hire yang namanya petugas kesehatan dan chef dari kita, dari Indonesia. Makanya kami nanti akan bicara lebih banyak juga dengan teman-teman yang mengurusi pekerja migran terkait dengan ini,” imbuhnya.
Menanggapi rencana pemerintah terkait pelibatan WNI di syarikah, Ketua Asosiasi Muslim Pengusaha Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Firman M Nur, menilai perlu ada negosiasi mendalam kepada pemerintah Arab Saudi.
Dia mengatakan, ada pekerjaan rumah besar BP Haji sebelum mengarah pada negosiasi, yaitu penguatan kelembagaan agar BP Haji bertransformasi menjadi kementerian.
Karena menurut Firman, negosiasi yang setara antar kementerian yang bisa menjalani hal tersebut, bukan lembaga dalam bentuk badan yang dinilai tidak setara dengan kementerian.
“Bentuk-bentuk diplomasi model begini akan lebih kuat dan gold jika G2G menjebataninya,” imbuhnya.
Namun, dia mengapresiasi kebijakan BP Haji yang memperhitungkan serapan lokal dalam penyelenggaraan haji.
Karena dengan serapan lokal tersebut, kata Firman, akan memudahkan jemaah haji Indonesia ketika ada keperluan tertentu dalam penyelenggaraan haji.
“Jadi punya izin dan memang resmi diwajibkan syarikat yang menjadi partner harus mengajak tenaga dari Indonesia. Dan itu membahas biaya mereka untuk meningkatkan pelayanan, memudahkan komunikasi,” imbuhnya.
Namun, hal ini bisa terlaksana jika pemerintah sekali lagi menguatkan kelembagaan BP Haji menjadi sebuah kementerian. “Usulan-usulan besar ini akan mudah tercapai jika diplomasinya apple to apple,” ucapnya.
Ide mengindonesiakan syarikah mendapat restu dari Senayan.
Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mendorong agar syarikah di Arab Saudi bisa menerima syarat terkait penempatan warga negara Indonesia sebagai bagian dari pekerja mereka.
Hanya saja, Marwan menyadari urusan mengurus WNI menjadi petugas syarikah bukan hal yang mudah.
Maka dari itu, Marwan berharap syarikah di Arab Saudi dapat mengurus dokumen orang-orang Indonesia untuk menjadi petugas haji di sana.
Dengan begitu, kata dia, petugas yang menangani jemaah haji adalah sama-sama orang Indonesia.
Marwan mengungkapkan, selama ini, petugas syarikah yang berasal dari negara asing membuat jemaah Indonesia kesulitan dalam berkomunikasi.
Marwan lantas memberi contoh orang Indonesia yang menetap di Arab selalu kesulitan untuk keluar masuk Mekkah akibat izin tinggal tersebut.
“Mereka kan kalau tiba-tiba orang asing berbahasa asing, mereka agak rumit juga. Tapi memang tidak mudah,” kata Marwan.
“Kalau tahun ini, orang Makkah, jadi ada (WNI) mukimin di Makkah, begitu dia keluar dari Makkah, itu dia masuk sudah enggak bisa lagi ke Makkah, kalaupun rumahnya di situ. Karena kan sudah enggak boleh. Harus ada Nusuk, baru boleh masuk ke Mekkah. Sementara mereka tidak boleh,” sambungnya.
Sementara itu, Marwan menyebut petugas syarikah asing juga pasti kesulitan saat membawa jemaah haji Indonesia yang baru tiba di Arab Saudi.
Hal tersebut disebabkan oleh kesemrawutan data milik Indonesia, di mana jemaah dalam satu pesawat, belum tentu satu rombongan.
“Ditambah kesemrawutan data tadi itu. Sehingga syarikah itu tidak mengerti dan tidak tahu di mana jemaahnya. Karena begitu turun jemaah, mereka lebih memilih ke hotel rombongannya. Padahal hotelnya bukan di situ. Itu agak rumit. Jadi ya segera dibenahi, supaya dalam satu kloter itu tidak terpisah-pisah,” imbuh Marwan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.