Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
Bima Arya
menekankan pentingnya penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang mengedepankan
kepentingan nasional
jangka panjang ketimbang kepentingan jangka pendek dan partisan.
“Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai kemudian proses revisi undang-undang ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan. Itu paling utamanya,” kata Bima dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait
Penyelenggaraan Pemilu
Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
Menurut Bima, pemerintah telah mulai membahas berbagai opsi tindak lanjut atas putusan MK, termasuk dampaknya terhadap sistem politik dan kelembagaan daerah.
Ia menyebut, pembahasan ini dilakukan bersama parlemen maupun lintas kementerian.
“Banyak yang bertanya apakah sudah direspons? Ya, tidak mungkin tidak. Pasti sudah kami bahas, sudah kami telusuri satu-satu dampaknya,” ujarnya.
Bima menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi pegangan dalam menyikapi putusan MK dan rencana
revisi UU Pemilu
.
Pertama, revisi harus memperkuat pelembagaan politik, terutama dalam konteks sistem presidensial dan otonomi daerah.
Ia menyoroti belum adanya Undang-Undang tentang Kepresidenan, padahal sistem presidensial Indonesia seharusnya memiliki regulasi yang mengatur secara jelas kewenangan eksekutif.
“Kita menganut sistem presidensial, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan. Ini harus jelas,” katanya.
Kedua, Bima menekankan pentingnya menempatkan reformasi politik dalam kerangka kepentingan nasional dan arah menuju Indonesia sebagai negara maju dalam 20-25 tahun ke depan.
Ia mengingatkan bahwa sistem politik yang tidak selaras dengan target pembangunan bisa menjadi penghambat.
“Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” imbuh politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Ketiga, Bima menyinggung pentingnya memperkuat fungsi partai politik dan pendanaan politik.
Ia menyambut baik wacana penguatan bantuan dana politik, namun menekankan pentingnya transparansi dan integritas.
“Jadi
party funding
, pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” jelas eks Wali Kota Bogor ini.
Selain itu, Bima juga mendorong pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu, khususnya untuk tahapan penghitungan dan pemungutan suara.
Ia juga menyinggung tantangan dalam pelaksanaan pemilu serentak, termasuk potensi ketimpangan antara kepentingan lokal dan nasional.
Ia menegaskan bahwa keserentakan yang telah dicapai saat ini memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran dan keselarasan program pusat-daerah, dan karenanya perlu dijaga.
“Jangan sampai semua itu diuyak-uyak, gitu ya, dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu, dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua, kepentingan nasional kita, integrasi kita seperti apa,” ungkapnya.
Terakhir, ia mengingatkan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna.
Karena itu, revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang.
Sebagai informasi, Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengatakan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
“Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, Insya Allah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (revisi UU Pemilu),” ujar Khozin, di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Ia mencatat dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold.
“(Klaster politis) Sudah banyak dikupas bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan,” ujar Khozin.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan Nasional 27 Juli 2025
/data/photo/2025/07/05/6868f927371f1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)