Demokrasi Berbasis Keadaban
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
DEMOKRASI
adalah sistem. Ia tak boleh menjadi sistem kosong. Ia memerlukan isi. Dan isi
demokrasi
bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan akhlak politik.
Kita boleh saja menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun, memindahkan kedaulatan rakyat ke bilik suara dan perangkat digital.
Namun, jika seluruh proses itu dijalankan dengan semangat mengakali, menyiasati, bahkan memanipulasi, kita tidak sedang membangun demokrasi—kita hanya sedang mengabadikan proyek kekuasaan.
Yang hilang dari demokrasi kita hari ini bukan mekanisme teknokratisnya. Justru sebaliknya, prosedurnya kian canggih: Sirekap,
e-voting
, rekap digital,
quick count
. Namun, substansinya makin mengering.
Demokrasi
tanpa akhlak, tanpa keadaban.
Pemilu 2024 telah usai. Presiden dan wakil rakyat terpilih. Namun, yang tertinggal bukan euforia kedaulatan rakyat, melainkan residu keterbelahan.
Seolah-olah, lawan politik bukan lagi mitra deliberasi, tapi musuh yang wajib dilumpuhkan. Demokrasi berubah menjadi medan kontestasi total, bukan ruang untuk menyepakati kebaikan bersama.
Itulah titik rapuhnya demokrasi prosedural. Seperti diingatkan oleh Jürgen Habermas, demokrasi hanya bermakna ketika disertai partisipasi deliberatif dan diskursus yang setara (Habermas, The Inclusion of the Other, 1998). Tanpa itu, ia mudah berubah menjadi populisme dan manipulasi retoris.
Sejak awal, demokrasi Indonesia dirancang untuk beradab. Lihatlah Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.”
Di situlah tertanam pengakuan terhadap harkat manusia sebagai dasar kebebasan. Pancasila pun menempatkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebelum “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…”
Sebuah penegasan bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal memuliakan manusia.
Ini menegaskan apa yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai demokrasi dengan nilai-nilai tauhidik—demokrasi yang bukan netral dari moral, tetapi meniscayakan etika publik yang berbasis akal sehat dan kesetaraan (Nurcholish, 1997).
Namun sayangnya, semua itu hari ini hanya jadi simbol di ruang rapat dan orasi politik.
Lihat saja realitas politik kita hari ini. Elite saling menista, saling menyandra dengan kursi, saling menelikung lewat narasi.
Partai politik lebih sibuk mengatur logistik dan koalisi, daripada mendidik kader dengan nilai.
DPR makin lemah sebagai pengawas, makin kuat sebagai pengaman status quo. Presiden pun, dalam banyak hal, lebih populis daripada konstitusional.
Politik kehilangan etosnya. Demokrasi berubah menjadi pasar legitimasi, bukan arena nilai.
Seperti dikatakan Hannah Arendt, politik adalah ruang hadir bersama, tempat manusia menampilkan dirinya di hadapan orang lain untuk membangun dunia bersama (Arendt, The Human Condition, 1958).
Jika ruang itu ditutup atau direduksi menjadi kalkulasi elektabilitas, maka yang lahir bukan demokrasi, melainkan dominasi.
Demokrasi yang beradab tidak menghina, tidak menyebar kebencian, tidak menciptakan musuh imajiner demi elektoral.
Demokrasi yang beradab tidak menindas minoritas hanya karena kalah suara. Karena seperti diingatkan John Stuart Mill dalam On Liberty (1859), suara terbanyak bukanlah jaminan kebenaran.
Demokrasi bukan soal siapa paling banyak, tapi siapa paling layak didengar dalam akal dan nurani.
Inilah bedanya demokrasi dengan demagogi. Demokrasi tanpa perenungan hanya akan menjadi tempat naiknya yang paling nyaring, bukan yang paling bijak.
Seperti dikatakan Fishkin (2010), deliberasi adalah jantung demokrasi sejati—tanpa itu, politik akan menjadi ajang mobilisasi irasionalitas massal.
Harga dari demokrasi tanpa keadaban sangat mahal. Polarisasi kian akut. Media sosial menjadi ladang fitnah. Kepercayaan terhadap partai politik runtuh. Anak muda menjauh dari politik. Institusi negara dianggap alat kekuasaan, bukan penjaga konstitusi.
Laporan V-Dem 2025 menunjukkan Indonesia tergelincir ke dalam kategori
electoral autocracy.
Fenomena ini mencerminkan lemahnya prinsip
horizontal accountability
dan penyusutan ruang sipil (V-Dem Institute, Democracy Report 2025).
Dalam demokrasi yang sehat, kritik terhadap penguasa menjadi syarat, bukan ancaman.
Inilah saatnya kita kembali ke akar. Demokrasi bukan hanya sistem kekuasaan, tetapi kontrak moral. Partai politik harus kembali menjadi rumah akal sehat, bukan sekadar markas penggalangan dana.
Pemerintah harus membangun kepercayaan bukan dengan pencitraan, tapi dengan kejujuran. Media harus menjadi penjaga nurani publik, bukan sekadar penyambung lidah pemilik modal.
Kita sebagai rakyat pun harus belajar kembali menjadi warga negara yang beradab. Bukan hanya menuntut, tapi juga merawat. Bukan hanya bersuara, tapi juga bertanggung jawab. Bukan hanya ingin menang, tapi ingin adil.
Demokrasi berbasis keadaban bukanlah utopia. Ia adalah keharusan. Dalam dunia yang makin bising oleh propaganda, suara jernih harus dimunculkan oleh integritas.
Dalam zaman yang dibanjiri algoritma kebencian, akhlak adalah satu-satunya jangkar agar kita tidak karam.
Tanpa keadaban, demokrasi hanya menjadi tirani mayoritas. Tanpa akhlak, pemilu hanya jadi ritual legitimasi. Dan tanpa integritas, institusi hanya menjadi hiasan tata negara.
Demokrasi yang sejati tidak lahir dari angka, tetapi dari jiwa yang bersedia mendengar, berbagi, dan bertanggung jawab.
Karena pada akhirnya, republik ini bukan dibangun di atas kertas suara, melainkan di atas hati nurani manusia yang tahu kapan harus bersuara dan kapan harus berbagi ruang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Demokrasi Berbasis Keadaban
/data/photo/2024/10/29/67205db916be9.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)