Liputan6.com, Jakarta – Industri farmasi tengah menghadapi tekanan besar menyusul rencana Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor hingga 200%. Kebijakan ini berpotensi menaikkan harga obat secara signifikan sekaligus memperkecil margin keuntungan produsen.
Donald Trump kembali mengungkapkan rencananya pada Selasa lalu, menyebut bahwa pengenaan tarif terhadap sektor farmasi akan diumumkan “segera”. Rencana ini merupakan kelanjutan dari investigasi Pasal 232 yang diluncurkan pemerintah AS sejak April lalu.
Meski tarif tidak akan berlaku langsung, Trump mengatakan akan ada masa tenggang sekitar satu hingga satu setengah tahun sebelum diterapkan.
Namun, dikutip dari CNBC, Sabtu (12/7/2025), para analis memperingatkan bahwa bahkan dengan penundaan, dampaknya tetap akan berat. Dalam catatan yang dirilis Rabu, Barclays menyebut tarif 200% akan meningkatkan biaya produksi, menekan margin perusahaan, dan mengganggu rantai pasokan obat.
Akibatnya, masyarakat AS bisa menghadapi kenaikan harga dan potensi kekurangan obat.
UBS juga mencatat bahwa sebagian besar obat yang dijual di AS diproduksi di luar negeri, sehingga tarif akan berdampak negatif langsung pada margin laba perusahaan.
“Dampaknya bagi pasien bisa jadi bencana,” kata CEO RockCreek Group Afsaneh Beschloss dalam acara Closing Bell di CNBC.
Ia menambahkan, “Kita semua butuh obat-obatan itu, dan butuh waktu lama untuk bisa memproduksinya di AS.”
Menurut studi dari organisasi industri farmasi PhRMA, tarif 25% saja bisa menambah biaya obat hingga hampir USD 51 miliar per tahun, dan menyebabkan lonjakan harga domestik hingga 12,9%.
Tak heran jika PhRMA mengecam rencana ini sebagai kebijakan yang “kontraproduktif” terhadap upaya peningkatan layanan kesehatan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5272602/original/081614300_1751589860-Untitled.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)