JAKARTA – Di tengah perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, pusat perbelanjaan di kota-kota besar seperti Jakarta menghadapi tantangan untuk tetap relevan.
Bukan lagi sekadar tempat untuk berbelanja, pusat perbelanjaan kini dihadapkan pada tuntutan menjadi ruang interaksi sosial dan bagian dari lanskap budaya urban.
“Kota-kota besar kan fungsi pusat perbelanjaan ini bukan hanya sekedar sebagai tempat belanja lagi,” ujar Alfonso Widjaja, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), saat ditemui di Mal Atrium Senen, Jakarta Pusat pada Kamis, 10 Juli 2025.
“Harus ada fungsi lebih dari sekedar tempat belanja. Jadi saya kira terutama di Jakarta itu terdengar sangat identik dengan lifestyle,” lanjutnya.
Ia menambahkan perubahan gaya hidup adalah sesuatu yang konstan, dan pusat perbelanjaan dituntut untuk merespons hal ini dengan pendekatan yang adaptif.
“Lifestyle ituselalu berubah setiap saat. Jadi saya kira itu yang harus direpon oleh para pengelola pusat belanja. Responnya bentuknya macam-macam,” lanjutnya.
Menurut Alfonso, langkah-langkah yang diambil pengelola pusat perbelanjaan bervariasi, mulai dari mengubah konsep acara hingga melakukan renovasi dan repositioning.
“Ada yang dengan merubah konser, ada juga yang dengan melakukan renovasi, ada juga yang melakukan perubahan posisioning dan sebagainya,” jelasnya.
Contoh konkret dari penyesuaian ini bisa dilihat pada perubahan nama Millennium Mall menjadi Mal Atrium Senen. Transformasi tersebut mencakup renovasi fasilitas, penyegaran identitas visual, serta penguatan koneksi dengan komunitas lokal melalui pelestarian pusat onderdil dan konsep heritage Segitiga Senen.
Namun Alfonso menekankan perubahan nama atau logo semata tidak cukup.
“Yang perlu diperhatikan bukan hanya sekedar ganti logo, ganti nama. Tetapi juga renovasi gedung dan perubahan tenant mix untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,” tuturnya.
Dengan dominasi e-commerce dalam fungsi belanja praktis, pusat perbelanjaan perlu menonjolkan aspek yang tak tergantikan oleh platform digital, yakni interaksi sosial.
“Sebetulnya pusat belanja itu offline, bukan online. Salah satu kelebihan offline itu adalah bisa memberikan fasilitas masyarakat untuk berinteraksi sosial secara langsung dengan sesama manusia,” kata Alfonso.
Perubahan nama Millennium Mall menjadi Mal Atrium Senen menjadi cerminan dari adaptasi terhadap tuntutan zaman sekaligus pelestarian identitas lokal.
Kawasan Segitiga Senen yang memiliki nilai sejarah tinggi dijadikan titik tumpu pembaruan konsep pusat perbelanjaan, dengan menekankan nilai-nilai heritage dan pendekatan kontemporer.
“Transformasi ini bukan sekadar perubahan nama, tetapi juga pembaruan identitas dan semangat kami dalam mengembangkan pusat perbelanjaan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat urban masa kini.” ujar Elly Christin, Direktur PT Nusa Mandiri Properti.
Langkah ini tak hanya menyasar perbaikan fisik, tetapi juga menghadirkan identitas yang lebih sesuai dengan masyarakat urban. Rebranding dilakukan melalui pembaruan visual, pemilihan penyewaan yang relevan, dan penyediaan ruang sosial untuk aktivitas komunitas.
Mal Atrium Senen juga akan menjadi tuan rumah penutupan Festival Jakarta Great Sale 2025, sebagai bagian dari kolaborasi dengan APPBI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bagaimana pusat perbelanjaan bisa berperan sebagai simpul interaksi sosial dan ekonomi dalam dinamika kota.
