Malang (beritajatim.com) – Pembubaran lapak baca oleh komunitas mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) di area Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) pada Rabu (4/6/2025) memicu kontroversi. Komunitas literasi yang tergabung dalam Area Baca Selasa mengaku mendapat teguran keras dari pihak fakultas dan dituding menyebarkan buku-buku yang dianggap menyesatkan pemikiran mahasiswa.
Tudingan tersebut langsung dibantah oleh penggerak komunitas yang merasa dilecehkan dan dirugikan secara moral atas upaya mereka membangun ruang literasi di kampus. Salah satu anggota komunitas, Syauqy Muhammad Alghifary atau Algi, mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, menegaskan bahwa seluruh buku yang mereka pajang adalah bahan bacaan terbuka dan tidak mengandung muatan provokatif.
“Buku-buku kami isinya pengetahuan, teori, dan sastra. Ada novel, cerpen, zine, bahkan biografi. Apa itu bisa disebut menyesatkan? Tidak ada buku yang mengarahkan mahasiswa untuk membenci negara atau pemerintah. Kami juga tidak pernah mendoktrin siapa pun,” ujar Algi kepada beritajatim.com, Kamis (5/6/2025).
Ia menceritakan, komunitas mulai membuka lapak sejak pukul 10.00 WIB dengan menata buku, membentangkan bendera komunitas, dan mempersiapkan mimbar bebas. Namun kegiatan mendadak dihentikan setelah mereka didatangi oleh Wakil Dekan I FIP UM. Alasan utama pembubaran adalah karena kegiatan tersebut belum mengantongi izin resmi.
“Kami akui memang belum mengurus izin, dan kami terima jika itu dianggap pelanggaran administratif. Tapi kami keberatan ketika Wakil Dekan menuduh buku-buku kami menyesatkan pikiran mahasiswa. Itu tuduhan yang berat dan tidak berdasar,” jelasnya.
Lapak baca tersebut merupakan bagian dari kegiatan solidaritas memperingati seribu hari Tragedi Kanjuruhan, sekaligus penggalangan dana bagi keluarga korban. Kegiatan juga melibatkan komunitas literasi lain di Malang seperti Maosan, Sabtu Membaca, Gelap Terang Pustaka Jalanan, dan Snedek Club.
“Ini bukan sekadar lapak baca. Kami ingin menciptakan ruang diskusi, suara, dan solidaritas. Buku-buku yang kami bawa juga dari berbagai genre dan terbuka untuk semua. Tidak ada kurasi ideologis atau agenda tersembunyi,” tegas Algi.
Ia menambahkan bahwa komunitas Area Baca Selasa sudah melapak secara rutin sejak 2022 dan selama tiga tahun tidak pernah mengalami masalah serupa. Menurutnya, antusiasme mahasiswa terhadap kegiatan literasi justru semakin meningkat.
“Ini ruang alternatif yang positif di kampus. Banyak mahasiswa datang, membaca, berdiskusi, bahkan ikut menyumbang buku. Tapi sekarang kami justru dituduh menyebarkan pikiran menyesatkan,” katanya.
Meski mengakui kekurangan dari sisi prosedur, Algi menilai respons kampus terlalu represif. Terlebih tuduhan yang dilontarkan menyangkut hal sensitif seperti ideologi dan ancaman terhadap negara.
“Yang bikin sakit hati adalah tuduhan bahwa kami menyebarkan pemikiran menyesatkan dan bisa mendoktrin mahasiswa untuk melawan pemerintah. Literasi dan kebebasan berpikir mestinya didukung, bukan dicurigai,” ujarnya.
Algi berharap agar kejadian ini bisa menjadi pintu dialog antara mahasiswa dan pihak kampus tentang pentingnya menjaga ruang literasi yang bebas dan inklusif. Ia juga meminta agar institusi pendidikan tidak menanggapi inisiatif mahasiswa dengan kecurigaan berlebihan.
“Kalau kampus mulai menolak gerakan literasi yang terbuka, lalu siapa yang akan mendukung mahasiswa untuk berkembang secara kritis dan mandiri?” pungkasnya. [dan/beq]
