Pihak FIP UM Bantah Tuduhan Labeli Lapak Baca Mahasiswa Sebagai Menyesatkan

Pihak FIP UM Bantah Tuduhan Labeli Lapak Baca Mahasiswa Sebagai Menyesatkan

Malang (beritajatim.com) – Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) membantah tuduhan melabeli lapak baca mahasiswa sebagai penyebar buku menyesatkan. Wakil Dekan I FIP UM, Dr. Sri Wahyuni, M.Pd., menegaskan pembubaran kegiatan tersebut dilakukan semata karena tidak ada izin resmi dan melibatkan peserta dari luar kampus.

Sri Wahyuni memberikan klarifikasi saat dikonfirmasi beritajatim.com pada Kamis (5/6/2025) terkait kontroversi pembubaran lapak baca kolaboratif di area FIP UM.

“Karena tidak ada izin dari pimpinan yang berwenang, dan yang melaksanakan kegiatan banyak dari orang luar kampus,” jelasnya.

Ketika ditanya soal tuduhan bahwa pihak kampus menyebut lapak baca itu “menyesatkan”, Sri Wahyuni mengaku terkejut dan membantah langsung.

“Waduh… siapa yang bilang seperti itu?” tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa pihak kampus tidak menuduh komunitas penyelenggara secara langsung. Pihak fakultas hanya bersikap waspada setelah menemukan flyer-flyer berisi konten yang dianggap menyesatkan yang pernah ditempel di lingkungan FIP.

“Kami tidak menuduh mereka. Kami menyampaikan bahwa ada flyer-flyer menyesatkan yang pernah ditempel di lingkungan kami. Jadi kami sedang berhati-hati. Siapapun yang tidak berizin kami anggap ilegal,” tambah Sri Wahyuni.

Ia juga menyampaikan bahwa isi flyer itu sudah menjadi urusan internal fakultas dan tengah ditangani pihak berwenang. Selain itu, pihaknya tidak memiliki catatan resmi atas komunitas yang menggelar lapak baca tersebut.

“Siapa komunitas itu, sepertinya kami tidak punya komunitas itu,” jelasnya.

Menurutnya, menggelar kegiatan tanpa izin resmi dan melibatkan pihak eksternal merupakan pelanggaran aturan kampus.

“Dengan tidak dimintai izin dan menggelar kegiatan tanpa izin sebenarnya sudah menyalahi aturan kami,” tegasnya.

Sri Wahyuni berharap agar informasi yang beredar bisa bersifat seimbang dan didasarkan pada bukti, bukan hanya pengakuan sepihak.

“Mas harus mencari bukti bentuk kegiatannya, tidak hanya basis pengakuan ya mas. Supaya imbang, tidak hanya berbasis pengaduan,” ujarnya.

Sementara itu, Bedul, mahasiswa Fakultas Sastra UM yang hadir sebagai pengunjung lapak, mengungkapkan pengalamannya saat kegiatan dibubarkan. Ia merasa heran karena dosen yang datang justru mempertanyakan izin kegiatan dan menyatakan kegiatan itu bisa menyebarkan buku terlarang.

“Aku lagi baca buku ekologi, tiba-tiba ada dosen datang. Kirain mau ikutan diskusi, eh malah tanya-tanya dan mengusir,” ujarnya.

Bedul menyayangkan sikap pembubaran yang terkesan kasar, apalagi tujuan lapak baca adalah untuk mendukung literasi dan inklusivitas.

Peristiwa ini memunculkan perdebatan tentang batasan antara pengawasan kampus terhadap kegiatan mahasiswa dan kebebasan berekspresi. Di satu sisi, kampus menegaskan pentingnya prosedur izin demi keamanan dan ketertiban, sementara di sisi lain mahasiswa berharap ruang kampus tetap terbuka untuk gerakan literasi yang inklusif. [dan/beq]