Wamendagri Bima mengatakan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah melakukan proses revisi Undang-Undang Pemilu.
“Jadi, ada atau tidak putusan MK proses ini berjalan, itu yang pertama. Kedua, putusan MK ini sedang kami pelajari karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senafas dengan Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan,” tuturnya.
Meski mengarah pada keinginan agar sistem pemilu tidak diubah, Wamendagri tidak langsung menyimpulkan sepakat atau tidaknya dengan MK.
Dia lebih fokus pada revisi yang sedang dijalankan pemerintah sambil melihat muatan-muatan dari putusan MK yang sekiranya dapat dikolaborasikan.
“Belum ada kesimpulan, ini kan, baru memulai penelitian baru memulai pengkajian kami akan kaji dulu. Kami berharap putusan MK ini bisa senafas dan selaras dengan UUD 1945,” ucap Bima Arya.
Dia menyebut pemerintah sedang mempelajari putusan MK itu secara mendetail karena ingin proses revisi nantinya tetap berjalan dengan undang-undang. “Dalam proses kajian ini kami pun melihat muatan-muatan materi substansi dari putusan MK tadi,” sambungnya.
Bima juga berpandangan adanya pemisahan pemilu itu karena perbedaan pandangan pendapat terkait rezim pemilu. Menurutnya, MK menganggap pilkada dan pemilu adalah satu rezim, sementara banyak kalangan yang berpendapat sebaliknya, sehingga penafsiran ini belum sama.
“MK menganggap bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim, menafsirkan original intens dari proses perubahan Undang-Undang 1945, sementara banyak berpendapat bahwa Undang-Undang 1945 itu memisahkan antara rezim pilkada dan rezim pemilu, karena itu turunan undang-undangnya juga akan berbeda,” tutur Bima Arya. (fajar)
