Pasar Ular Redup, Pedagang Terjepit antara Sepi Pembeli dan Sulit Cari Kerja Megapolitan 4 Juli 2025

Pasar Ular Redup, Pedagang Terjepit antara Sepi Pembeli dan Sulit Cari Kerja
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Juli 2025

Pasar Ular Redup, Pedagang Terjepit antara Sepi Pembeli dan Sulit Cari Kerja
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –

Pasar
Ular di Rawa Badak, Koja,
Jakarta Utara
, lambat laun terlihat semakin meredup.
Dulu, ratusan
pedagang
menggantungkan nasib hidupnya di
pasar
ini. Namun, kini satu per satu
pedagang
justru meninggalkannya.
Pasar ini memiliki tiga lorong yang tadinya diisi oleh 250-an pedagang, baik itu kaki lima maupun kios.
Tapi, dari 250 pedagang yang ada, hampir 65 persen sudah tidak lagi membuka tokonya.
35 persen pedagang yang masih bertahan hanya mengandalkan satu atau dua pembeli yang datang.
Beberapa pedagang bercerita, kondisi
Pasar Ular
di tahun ini berbanding terbalik dengan tahun 1990-an.
Sebab, di tahun itu banyak pejabat hingga artis ternama gemar datang ke Pasar Ular.
“Di masa pemerintahan Suharto, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ramainya. Di sini jual pakaian saja, tapi kan banyak artis-artis, pelawak-pelawak datang ke sini,” jelas Alfons.
Para pejabat dan artis datang ke pasar ini untuk berburu pakaian bermerek dengan harga yang miring.
Pasalnya, di zaman tersebut para pedagang Pasar Ular mendapatkan stok barang langsung dari luar negeri yang dikirim melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Karena itu, pakaian bermerek kerap kali tersedia lebih dulu di Pasar Ular sebelum masuk ke toko-toko besar di Jakarta.
Tapi, kini Pasar Ular tak lagi dilirik oleh kalangan atas dan justru semakin sepi.
Hal itu lah yang membuat omzet para pedagang menurun drastis.
“Kalau sekarang sih kadang nol perak, sama sekali tidak ada yang beli. Dalam sebulan tidak dapat Rp 500.000,” kata Alfons.
Padahal dulu, kata Alfons, dirinya bisa mendapat uang sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2 juta dalam sehari.
Senada dengan Alfons, pedagang dompet bernama Adjat (48) juga mengaku pendapatannya merosot drastis.
“Kalau kaki lima dulu bisa sampai Rp 3 hingga Rp 4 juta. Kalau sekarang Rp 80.000 hingga Rp 100.000,” ucap Adjat.
Sementara pendapatan pedagang kios di tahun 1990-an di pasar ini, kata Adjat, bisa mencapai Rp 20 hingga Rp 30 juta per hari.
Para pedagang menilai, sepinya pembeli di Pasar Ular juga karena persaingan dengan toko-toko online.
“Mungkin kita tidak bisa melawan toko online, karena mereka kan bisa jual harga di bawah kita, sampai di antar ke depan pintu rumah kita juga, jadi orang-orang tidak usah keluar rumah lagi,” kata Alfons.
Sementara, Adjat tidak bisa beralih berdagang online karena tidak mahir menggunakan teknologi.
“Salah satunya toko online itu memengaruhi, karena saya mau dagang online juga kurang paham sama teknologinya,” kata Adjat.
Meski penghasilannya sudah tidak sebesar dulu, beberapa pedagang memilih untuk bertahan.
Salah satunya Alfons, yang tetap berdagang ikat pinggang di Pasar Ular dari jam 09.00 WIB hingga 17.00 WIB.
Alfons tetap berjualan karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, mengingat usianya tidak lagi muda.
“Ya, habisnya kita kan sudah tua mau mencari kerja tidak akan diterima lagi, mau ke mana lagi? Apa adanya saja lah kita tekuni,” kata dia.
Di tengah semakin sepinya Pasar Ular, para pedagang berharap agar pemerintah turun tangan memberikan solusi yang konkret.
“Kita juga bingung masyarakat, tapi kan sekarang banyak menterinya cuma kerjanya apa? Hasilnya apa untuk masyarakat ini? Kalau sekarang kan begitu banyak menterinya, tapi apa kebijakan-kebijakan pemerintah untuk rakyat begini,” jelas Alfons.
Seharusnya, kata Alfons, pemerintah bisa memberikan solusi untuk para pedagang agar bisa tetap berpenghasilan di tengah daya beli masyarakat yang menurun.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.