Surabaya (beritajatim.com) — Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menggelar kegiatan Literasi Layanan Penyensoran Film dan Iklan Film dengan pemangku kepentingan perfilman di Jawa Timur.
Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 11 Juni 2025, bertempat di Liza Grand Ballroom, Leedon Hotel & Suites Surabaya, dengan menghadirkan puluhan peserta dari kalangan akademisi, pelajar SMK, komunitas film, hingga pelaku rumah produksi (PH).
Acara ini merupakan bagian dari sosialisasi sistem e‑SiAS, layanan digital terbaru dari LSF yang dirancang untuk menyederhanakan proses sensor film secara daring. Hadir sebagai narasumber antara lain Ketua Subkomisi Penyensoran LSF, Hadi Artomo, Ketua Subkomisi Litbang LSF, Zaqia Ramallah, serta Ketua KPID Jawa Timur, Immanuel Yosua Tjiptosoewarno. Diskusi panel dipandu oleh Royin Fauziana, Koordinator Bidang Kelembagaan KPID Jatim.
Dalam paparannya, Zaqia Ramallah menegaskan bahwa e‑SiAS (Elektronik Sistem Informasi Administrasi Sensor) merupakan inovasi penting dalam menjawab kebutuhan era digital. Aplikasi ini memungkinkan proses penyensoran dilakukan secara efisien dan transparan, mulai dari pendaftaran film hingga pener Ɓ Tanda Lulus Sensor (STLS).
“e‑SiAS hadir sebagai bentuk komitmen LSF untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan kualitas penyensoran di daerah. Ini bukan hanya sistem administrasi, tapi juga upaya memperkuat literasi perfilman nasional,” ungkap Zaqia.
Dalam sesi diskusi, Immanuel Yosua Tjiptosoewarno menggarisbawahi pentingnya penyensoran sebagai amanat Pasal 61 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Ia mengingatkan bahwa semua film dan iklan film yang diedarkan ke publik perlu memiliki STLS, sebagai bentuk perlindungan bagi penonton dan kontrol atas konten yang beredar.
“Sensor bukan untuk membatasi karya, tapi menjaga agar tayangan sesuai dengan norma dan usia penonton. Ini bagian dari menjaga moral bangsa dan arah kebudayaan nasional,” tegasnya.
Kegiatan literasi ini menjadi sarana edukasi dua arah antara LSF dan para pelaku industri film lokal. Dengan melibatkan peserta dari kampus, sekolah kejuruan, hingga komunitas kreatif, LSF berharap lahirnya ekosistem perfilman yang lebih sadar regulasi, namun tetap kreatif dan inovatif.
LSF juga menekankan pentingnya penggolongan usia penonton dan sosialisasi kriteria sensor agar pembuat film dapat menghasilkan karya yang tidak hanya bermutu secara artistik, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial.
Melalui kegiatan literasi ini, LSF RI berharap terwujudnya budaya taat sensor yang tidak sekadar tunduk pada hukum, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif untuk menghadirkan tontonan yang sehat, mendidik, dan layak konsumsi publik.
Dengan semangat inklusif dan inovatif, sosialisasi e‑SiAS di Surabaya menjadi awal dari rangkaian gerakan literasi nasional yang menempatkan sensor bukan sebagai belenggu, melainkan sebagai pengawal nilai dalam setiap karya audio visual Indonesia. (fyi/ian)
