Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

JAKARTA – Pengamat komunikasi politik dari The London School of Public Relations Communication & Bussines Institute, Ari Junaedi menilai penandatanganan kesepakatan antara Kejagung dengan para operator seluler mengenai penyadapan seperti dua sisi mata uang. Ia pun mendorong DPR RI untuk terus mengawal dan mengawasi kerjasama ini agar penegakan hukum tidak kebablasan.

Disatu sisi, menurut Ari, kerjasama ini bertujuan mulia, namun di sisi lainnya akan lebih banyak dampak negatifnya. Sisi baiknya, kata Ari, yakni membongkar dugaan potensi kasus fraud dan korupsi. Dengan demikian, aparat kejaksaan bisa maksimal dalam upaya pengungkapannya.

“Maka kehadiran DPR sebagai pengawas penting untuk memastikan bahwa kerja sama ini betul-betul untuk penegakan hukum, termasuk dalam hal penyadapan yang dilakukan atas bantuan operator seluler,” kata Ari Junaedi, Senin, 30 Juni.

Seperti diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk untuk membantu penegakan hukum.

Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

Menurut Ari, jika kerja-kerja ini dilakukan dengan baik, maka kejaksaan bisa membantu mengurangi beban Presiden Prabowo Subianto dalam menangkap para koruptor.

“Apalagi Presiden Prabowo akan mengejar koruptor hingga Kutub Utara sampai Kutub Selatan, malah ke gurun pasir segala. Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan pun sedang meningkat, jauh di atas Polri dan KPK,” katanya.

Namun di sisi lain, Ari menilai, penandatanganan nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler jutsru akan lebih banyak kerugian atau mudaratnya. Menurutnya, penyadapan rawan dengan pelanggaran privasi, mengingat tugas kejaksaan dalam penyadapan kebal dari pengawasan lembaga yang independen.

“Penyadapan tanpa izin atau tanpa prosedur yang jelas, rawan melanggar hak privasi warga negara,” ucap Ari.

Belum lagi dari tinjauan power abuse atau penyalahgunaan kekuasaan, lanjut Ari, penyadapan bisa saja dilakukan tanpa alasan yang sah mengingat kejaksaan adalah salah satu instrumen yang dimiliki eksekutif dari rezim yang tengah berkuasa.

“Dengan mudahnya dilakukan penyadapan oleh kejaksaan, publik semakin distrust terhadap institusi kejaksaan dan operator seluler dalam negeri jika tidak ada transparansi yang jelas,” jelasnya.

Ari pun menilai, tidak menutup kemungkinan apabila publik kemudian merasa khawatir menggunakan operator selular dalam negeri. “Jadi jangan menyalahkan publik akan memilih layanan operator dari negeri jiran jika resiko keamanan data pribadi warga pengguna seluler dalam negeri tidak dikelola dengan baik,” kata Ari.

“Publik khawatir data yang diperoleh melalui penyadapan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau afiliasi politik,” sambungnya.

Oleh karena itu, menurut Ari, masukan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menegasakan batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar DPR mengawasi ketat kerja sama tersebut untuk menghindari dampak buruk MoU Kejagung dan Operator seluler ini.

“Publik tidak saja bersandar dari dukungan akademisi dan penggiat demokrasi saja, tetapi harus meminta dukungan politik dari parlemen. Untuk itu, DPR harus memastikan kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler dijalankan dengan transparan, akuntabel dan apakah selaras dengan Undang-Undang tentang ITE dan Udang- Undang tentang Komunikasi,” katanya.

Adapun Kejagung menjelaskan kerja sama dengan operator telekomunikasi sejalan dengan UU No.11/2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Ari sepakat dengan DPR yang mewanti-wanti agar kerja sama soal Kejagung dan operator seluler dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang ada. Hal itu juga sempat disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding.

“Jangan sampai nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler yang bersifat khusus dan teknis melabrak aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya,” ungkap Ari.

Ari juga mendukung jika para wakil rakyat bersikap kritis dan korektif terhadap potensi pencideraan demokratis warga terkait kerja sama Kejagung dan operator ini, khususnya dalam hal penyadapan.

“Kalau perlu DPR bisa ‘menekan’ Kejaksaan dan para operator seluler agar penyadapan yang dilakukan benar-benar tidak melanggar aturan dengan pengawasan badan independen,” pungkasnya.