Ia menambahkan, sejak awal, penetapan Flores sebagai pulau panas bumi/pulau geothermal dalam Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, tidak melibatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya masyarakat Pulau Flores.
Selain itu, ESDM juga menentukan 28 titik potensial pengembangan geothermal di NTT yaitu 21 titik di Pulau Flores-Lembata, 6 titik di Pulau Alor dan 1 titik di Kabupaten Kupang.
Dalam penetapan titik potensial ini, Gres mengatakan, masyarakat tidak pernah dimintai izin untuk melakukan pemetaan dan sosialisasi soal akan adanya pengembangan geothermal.
Alarm Buat Pemerintah
Secara geografis, NTT sebagai provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan berada di jalur ring of fire, harusnya menjadi acuan dalam membuat kebijakan.
“Situasi ini tentu memberikan suatu alarm bagi pemerintah tentang bagaimana pentingnya melihat kondisi geografis ini sebagai acuan pengembangan proyek geothermal yang juga punya dampak ekologis yang besar terhadap lingkungan di NTT, khususnya Flores yang dialiri oleh jalur cincin api atau ring of fire,” ujar Grace.
Selain itu, grace juga mengkritisi pemerintah pusat yang abai terhadap ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. “Fakta yang ditemukan WALHI, di setiap titik pengembangan geothermal, persoalan sosial, budaya ekologi dan ekonomi selalu menjadi hal utama dalam alasan penolakan warga,” kata Gres.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5266270/original/030741100_1750994378-1000061294.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)