Malang (beritajatim.com) – Menjadi aktivis kampus pernah merupakan jalan emas. Relasi luas, pengalaman memimpin, dan portofolio kegiatan yang mentereng dianggap sebagai modal utama untuk masa depan. Izzul, mahasiswa semester akhir Administrasi Bisnis, merasakan betul aura itu. Ia pernah terjun total di beberapa organisasi intra kampus, termasuk BEM Universitas dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
“Pengalaman organisasi tentunya bisa menambah wawasan, memahami dinamika kekampusan, serta menguaknya dengan bijak melalui sudut pandang seorang organisator,” kenang Izzul. Baginya, organisasi adalah kawah candradimuka yang menempa wawasan dan jaringan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tuntutan zaman terasa lebih mendesak. Desakan itu, menurut Izzul, harus dijawab dengan persiapan kemandirian sedini mungkin. Di sinilah letak persimpangan itu. Panggilan untuk menjadi mandiri secara finansial dan praktis terasa lebih nyaring daripada panggilan rapat koordinasi.
“Sejak kerja menjadi seorang barista, identitas sebagai aktivis itu perlahan hilang,” akunya jujur. “Dulu, habis kuliah ada waktu luang untuk kumpul dengan teman membahas koordinasi. Sekarang, waktu itu dipakai untuk mengirit tenaga biar saat shift kerja bisa lebih fresh dan segar.”
Faris, yang bahkan masih aktif dan berprestasi di UKM Debat, juga melihat perubahan ini. Ia tidak menampik bahwa organisasi tetap penting namun lanskap pilihan bagi mahasiswa kini jauh lebih luas dan beragam.
“Menurut saya, dunia organisasi itu masih sangat relevan,” tegas Faris. “Tapi, mahasiswa sekarang punya lebih banyak pilihan dan cara untuk berkembang. Mereka bisa memilih komunitas informal, proyek kolaboratif, atau bahkan kerja paruh waktu yang fleksibel seperti saya.”
Pernyataannya menyiratkan sebuah kebenaran baru: jalur pengembangan diri tidak lagi tunggal. Prestise aktivisme yang dulu tak tertandingi, kini harus berbagi panggung dengan pengalaman kerja praktis yang menawarkan keuntungan berbeda, namun tak kalah berharga. [dan/beq]
