Surabaya (beritajatim.com) – Seorang perempuan di Surabaya berinisial IN harus menanggung derita selama dua dekade akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, NH (49). Kasus ini kini ditangani aparat kepolisian dan didampingi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya.
Kepala DP3APPKB Surabaya, Ida Widayati menyampaikan bahwa kondisi korban cukup memprihatinkan dengan luka fisik yang masih tampak dan trauma psikologis yang mendalam. IN bahkan disebut masih merasa terikat secara keagamaan dengan suaminya, hingga sempat takut melaporkannya.
“Kemarin laporan ke kantor polisi kita dampingi. Ke depan minta didampingi secara psikologis dan agama. Dia secara agama takut mendzolimi suami,” ujar Ida, Kamis (19/6/2025).
IN mengaku kerap menjadi korban kekerasan fisik, termasuk diseret dari kamar hingga halaman rumah, bahkan sampai pintu pagar. “Memar di tangan warna hitam biru, dicengkeram diseret dari kamar sampai pagar rumah,” imbuh Ida.
Motif KDRT ini disebut berasal dari masalah ekonomi. NH kerap bertindak kasar ketika diminta memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti uang belanja harian.
“Istri ini tidak dinafkahi dengan seharusnya. Harus menagih dulu. Kemarin pemicunya gitu juga, saat butuh uang belanja, buat beli telur atau bagaimana, gitu memicu kemarahan sampai diseret,” ungkapnya.
Lebih memilukan, NH ternyata merupakan residivis kasus serupa. Ia pernah dihukum karena KDRT terhadap IN, namun hanya menjalani hukuman tiga bulan karena permintaan pengurangan hukuman dari IN sendiri.
“Dulu pernah dilaporkan, tuntutan 1,5 tahun. Cuma karena mohon-mohon ke istri dan istrinya ini baik, akhirnya minta pengurangan dan lain-lain,” terang Ida.
Pemerintah Kota Surabaya kini berkomitmen memberikan pendampingan psikososial bagi IN dan dua anaknya, termasuk bantuan ekonomi karena IN tidak bekerja.
“Kami Pemkot akan mengintervensi segi ekonomi keluarga korban. Karena ibu ini tak bekerja,” tegas Ida. [ram/beq]
