Jangan Jadi Korban, Ini Strategi Cerdas Hadapi Kecanggihan Teknologi

Jangan Jadi Korban, Ini Strategi Cerdas Hadapi Kecanggihan Teknologi

JAKARTA – Perkembangan era digital sampai saat ini masih terus berlangsung. Setiap hari kita disuguhin banjir informasi dari berbagai arah. Tapi ternyata, kondisi ini juga membuat masyarakat Indonesia semakin bingung. Terkadang informasi itu bermanfaat bagi diri sendiri. Namun, tak sedikit pula informasi itu menyesatkan.

Menurut profesor Dr. Widodo Muktiyo, M.Comm, pakar komunikasi publik dan pendiri GPR Institute, zaman sekarang ini orang-orang seperti berperang tanpa tahu siapa lawannya di dunia maya.

“Secara kognitif, kita ini seperti lagi lawan dan kawan sama sesuatu yang tidak jelas. Informasi terus mengalir di masyarakat Indonesia, tapi belum lagi orang-orang menyalahkan teknologi. Padahal seharusnya kita hadapi ini dengan strategi,” ujar Prof. Dr. Widodo, dari keterangan resmi.

“Kalau kecerdasan buatan atau teknologi digital sudah semakin pintar, kita juga harus bisa punya strategi yang lebih cerdas,” jelas Prof. Widodo.

Menurutnya, cara seseorang menyikapi informasi tak bisa langsung dibenarkan. Harus bijak, pintar, berhati-hati, dan sadar bahwa terkadang serangan informasi itu bisa datang secara diam-diam.

Prof. Widodo juga mengajak kita untuk lebih sadar soal nilai-nilai kebangsaan. Baginya, sekarang ini semua orang punya peran untuk memajukkan bangsa. Selain itu, setiap generasi juga tak bisa disamaratakan.

Generasi baby boomers pasti berbeda cara pandangnya dengan generasi Z atau milenial. Menurut Prof. Widodo, sekarang lembaga seperti BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) sedang melakukan pengujian, karena memastikan nilai Pancasila tetap relevan.

“Indonesia itu bukan sekadar kaya atau luas wilayahnya. Yang diharapkan Bung Karno adalah manusia Indonesia yang punya kualitas dan karakter kuat. Itu baru hebat,” tambahnya.

Selain itu, Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia, juga memberikan pernyataan dalam acara tersebut. Baginya, sekarang ini manusia terlalu lama hidup di dunia simulasi alias dunia maya.

“Saking lamanya kita di dunia maya, rasanya seperti melihat telapak tangan sendiri. Dunia nyata itu sebenarnya butuh informasi yang disaring. Tapi sekarang, informasi apapun dianggap healing (hiburan), viral, dan benar. Padahal belum tentu,” ujar Hasan.

Menurut Hasan, serangan yang dihadapi sekarang itu bukan fisik, melainkan langsung menyerang pikiran.

“Ini bentuk serangan kognitif. Tak menyasar fisik, tapi menyasar ke pikiran kita. Jadi kalau sudah terpengaruh, semua keputusan bisa jadi salah. Informasi yang dibungkus menarik, terlihat menghibur, bisa menyentuh ego, kemarahan, stres, bahkan kebencian. Ujung-ujungnya dianggap sebagai kebenaran. Padahal belum tentu,” jelasnya.

Hasan juga mengingatkan soal bahayanya realitas semu di media sosial. Banyak orang terjebak di dunia yang tidak nyata, dan ini bisa berujung ke perpecahan.

“Kita harus balik ke realita. Jangan sampai kita pecah karena informasi yang tidak akurat. Apalagi kalau tidak saling kenal, interaksinya makin sedikit. Kita butuh kesadaran bersama. Teman-teman di media sosial juga harus berperan dalam ini,” jelasnya.