JAKARTA – Sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di Jakarta masih menjadi wacana yang belum pasti. Wacana ini sempat kembali dikemukakan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung. Hanya saja, Pramono mengaku belum tahu kapan akan diterapkan.
Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar menilai Jakarta sejatinya telah siap menjalankan sistem ERP, bila melihat kondisi infrastruktur transportasi atau angkutan umum massal saat ini.
“Banyak yang ragu, apakah Jakarta benar-benar siap menerapkan ERP? Padahal, jika dilihat dari berbagai aspek, Ibu Kota sebenarnya terlalu siap untuk sistem ini,” kata Akbar dalam keterangannya, Minggu, 15 Juni.
Akbar menyebut, dasar hukum untuk menjalankan ERP sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Bahkan, Pemprov DKI sudah sempat menyusun regulasi turunan dalam bentuk peraturan daerah (perda) meski belum dituntaskan.
“Secara regulasi, tidak ada lagi alasan untuk menunda (ERP),” ucap Akbar.
Jakarta, lanjut Akbar, telah memiliki jaringan transportasi yang terus berkembang, mulai dari MRT, LRT, TransJakarta, hingga JakLingko. Seluruh moda ini terintegrasi, baik secara fisik melalui titik-titik simpul perpindahan, maupun secara tarif melalui sistem pembayaran yang lebih praktis dan menyatu.
Kemudian, kesiapan Jakarta menerapkan pembatasan kendaraan berbasis teknologi ini juga bisa dibilang mumpuni. Warga Jakarta juga sudah terbiasa dengan pembayaran nontunai, baik untuk transportasi umum maupun transaksi harian lainnya.
“Kamera pengawas dan perangkat berbasis sensor juga sudah mulai digunakan untuk memantau lalu lintas secara real time. Teknologi ini bisa dengan mudah diadaptasi untuk mendukung sistem ERP, mulai dari deteksi kendaraan hingga pencatatan transaksi secara otomatis,” tutur Akbar.
“Jika semua prasyarat tersebut sudah terpenuhi, maka hambatan terbesar dalam penerapan ERP saat ini bukan lagi soal teknis. Tantangan utama kini adalah faktor politik dan sosial, yakni keberanian pengambil kebijakan untuk bertindak, serta kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan,” lanjutnya.
Di satu sisi, Akbar menilai kebijakan pembatasan kendaraan pribadi yang selama ini diterapkan di Jakarta memiliki hasil yang tak begitu efektif. Mulai dari sistem 3-in-1, yang malah melahirkan praktik joki pengisi kursi kosong, hingga ganjil genap, yang meskipun sempat efektif di awal, ternyata bisa diakali masyarakat dengan beli mobil kedua, pinjam plat nomor, atau bahkan memalsukan pelat.
“Masalahnya, kedua kebijakan tersebut juga punya kelemahan yang cukup mendasar. Sistemnya kaku, tidak fleksibel terhadap situasi darurat, tidak adaftif terhadap variasi waktu dan rute perjalanan, serta tidak menghasilkan pendapatan yang bisa digunakan untuk membenahi sistem transportasi secara menyeluruh,” imbuh dia.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memproyeksikan kelak Jakarta akan menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Sehingga, pengguna kendaraan pribadi diperkenankan melintasi jalan-jalan tertentu di Jakarta asal bersedia membayar.
“Suatu hari, bukan sekarang ya, ERP-nya saya mau pasang. Kenapa ERP-nya dipasang? Ya kalau kamu punya duit, mau naik mobil, bawa semua ke Jakarta enggak apa-apa, bayar semua ERP,” kata Pramono di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa, 27 Mei.
Menurut Pramono, pendapatan daerah yang dihasilkan dari setoran jalan berbayar bisa membantu Pemprov DKI membiayai subsidi transportasi umum seperti Transjakarta, LRT Jakarta, dan MRT Jakarta secara gratis untuk 15 golongan.
Adapun 15 golongan masyarakat penerima manfaat tersebut terdiri atas PNS Pemprov DKI Jakarta, pensiunan PNS, tenaga kontrak Pemprov DKI Jakarta, siswa penerima KJP Plus, penghuni rusunawa, Tim Penggerak PKK, dan karyawan bergaji setara UMP.
Kemudian, penduduk ber-KTP Kepulauan Seribu, penerima raskin domisili Jabodetabek, anggota TNI/Polri, veteran Republik Indonesia, penyandang disabilitas, lansia di atas 60 tahun, pengurus rumah ibadah, pendidik PAUD, serta golongan jumantik, pengurus karang taruna, dasawisma, dan posyandu.
“Bagi warga yang tidak mampu sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, dan hasil dari ERP sepenuhnya akan saya gunakan untuk memberikan subsidi kepada 15 golongan, termasuk warga di luar Jakarta,” urai Pramono.
Di kesempatan berbeda, Pramono mengungkap alasan yang menyebabkan sistem jalan berbayar belum bisa dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, menurut dia, wacana penerapan ERP sudah mencuat sejak kepemimpinan beberapa Gubernur DKI Jakarta terdahulu. Menurut dia, ERP belum bisa dijalankan karena sistem pendukung pelaksanaan jalan berbayar belum siap.
“Semangat untuk ERP ini sudah ada sejak zaman Bang Foke, Pak Jokowi, Pak Ahok, Pak Djarot, Mas Anies, Pj, dan sebagainya. Tetapi kenapa sampai hari ini belum bisa diterapkan? Memang supporting systemnya belum selesai,” urai Pramono.
