JAKARTA – Pengamat ketenagakerjaan UGM, Tadjuddin Noer Effendi menyebut bila job fair atau bursa lowongan kerja merupakan langkah jangka pendek dan bukan solusi terbaik untuk mengatasi tinggi angka pengangguran di Indonesia.
Menurutnya, job fair tidak bisa diandalkan pemerintah untuk menyerap tenaga kerja mengingat dalam pelaksanaannya yang diundang hanya perusahaan-perusahaan kecil dan jarang melibatkan perusahaan-perusahaan besar.
“Yang saya sangat khawatir, perusahaan-perusahaan kecil dijanjiin insentif sama pemerintah kalau mau mengikuti job fair yang dilaksanakan. Padahal sesungguhnya, mereka enggak butuh pekerja. Itu yang sangat berbahaya. Sementara perusahaan besar, biasanya tidak pernah mau membuka lowongan di job fair. Mereka membuka sendiri lowongan pekerjaan,” ujar Tadjuddin, Minggu 8 Juni.
Sebelumnya, ajang job fair atau bursa lowongan kerja yang diadakan Disnaker Kabupaten Bekasi di President University, Jababeka Convention Center, beberapa waktu lalu diwarnai kericuhan. Ribuan pencari kerja berdesak-desakan, saling dorong, bahkan ada yang terjatuh dan pingsan.
Tidak lama berselang, viral sebuah video yang diduga seorang konsultan human resource development (HRD) salah satu perusahaan di media sosial.
Dia menyebut, job fair hanya ajang formalitas, pencitraan perusahaan, serta pemenuhan target kinerja lembaga pemerintah belaka.
Menurut Tadjuddin, bila pernyataan dalam video itu benar, maka ratusan bahkan ribuan orang yang berdesak-desakan hingga bertaruh nyawa patut dikasihani.
Selain itu, jika pelaksanan job fair hanya formalitas atau tipuan semata, masyarakat berhak menuntut pemerintah atau perusahaan.
Hal yang lebih mengherankan, kata dia, di era digital dan kemajuan teknologi seperti saat ini pemerintah masih mengandalkan job fair konvensional, alih-alih menggelar secara online atau daring.
“Lebih bagus kalau daring, sekarang kan siapa orang yang enggak punya hp. Pelaksanaan job fair konvensional ini yang akhirnya jadi tanda tanya, jangan-jangan job fair hanya akal-akalan pemerintah daerah supaya kelihatan ada upaya untuk menciptakan peluang kerja,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan, untuk menghindari kesan pencitraan dan formalitas dalam pelaksanaan job fair konvensional, pihak penyelenggara harus memastikan validitas lowongan pekerjaan yang ditawarkan dalam setiap job fair.
Selain itu, pemerintah atau dinas ketenagakerjaan harus menyimpan data lowongan yang belum terisi di setiap perusahaan untuk ditawarkan kepada pencari kerja di ajang berikutnya. “Pemerintah pun wajib mencatat pencari kerja yang belum tertampung untuk disalurkan mengisi lowongan kerja di job fair selanjutnya,” tutup Tadjuddin.
