DPR Tolak Pelabelan “Sejarah Resmi” dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Komisi X DPR
RI menegaskan bahwa hasil penulisan ulang
sejarah Indonesia
yang dilakukan pemerintah tidak boleh dilabeli sebagai “sejarah resmi” atau “sejarah resmi baru”.
Hal ini ditegaskan dalam rapat Komisi X DPR bersama Kementerian Kebudayaan RI yang dibacakan oleh Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/5/2025).
“Komisi X mendesak agar hasil penulisan sejarah Indonesia tidak diberi label ‘sejarah resmi’ atau ‘sejarah resmi baru’,” ujar Hetifah.
Penegasan tersebut menjadi salah satu dari enam poin kesimpulan rapat yang dihadiri Menteri Kebudayaan (Menbud)
Fadli Zon
, Wakil Menbud Giring Ganesha, dan jajaran Komisi X DPR RI.
Komisi X DPR juga meminta Fadli Zon menjelaskan urgensi dan proses
penulisan ulang sejarah Indonesia
secara lebih inklusif, objektif, dan bertanggung jawab secara akademik.
Komisi X dan Kementerian Kebudayaan juga sepakat bahwa proses penulisan sejarah Indonesia harus melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.
Hal ini dimaksudkan agar buku sejarah yang dihasilkan tidak hanya objektif, transparan, dan komprehensif, tetapi juga mampu merepresentasikan memori kolektif bangsa serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pengetahuan dan pendidikan.
Selain itu, Hetifah mengatakan, Komisi X mendesak Kementerian Kebudayaan memperbaiki komunikasi publik.
Kementerian Kebudayaan juga diminta meningkatkan sosialisasi dan proses uji publik dalam penulisan sejarah guna menghindari tafsir yang membingungkan masyarakat.
Dia juga menekankan bahwa proses penulisan tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa.
Hetifah mendorong agar langkah ini dilakukan secara cermat dan terkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Komisi X turut meminta Kementerian Kebudayaan untuk memberikan jawaban tertulis atas berbagai pertanyaan anggota dewan yang belum sempat terjawab dalam forum tersebut.
Dalam rapat yang sama, Anggota Komisi X DPR RI,
Bonnie Triyana
, menyampaikan kritik terhadap penggunaan istilah ‘sejarah resmi’ dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan.
Menurut Bonnie, istilah tersebut tidak tepat secara prinsipil maupun metodologis.
“Hendaknya proyek penulisan sejarah yang kini dikerjakan oleh Kemenbud tidak menggunakan terminologi ‘sejarah resmi’ atau ‘sejarah resmi baru’. Istilah tersebut tidak dikenal dalam kaidah ilmu sejarah dan problematik baik secara prinsipil maupun metodologis,” ujar Bonnie.
Bonnie menambahkan, penggunaan istilah itu dapat menimbulkan interpretasi bahwa versi sejarah di luar itu adalah tidak resmi, ilegal, bahkan subversif.
Ia juga menyoroti pentingnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses penulisan sejarah.
“Sejarah adalah milik rakyat, dan cara kita memandang masa lalu menentukan arah masa depan. Maka, harus ada ruang publik yang terbuka bagi diskusi ilmiah,” ujar dia.
Bonnie juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan seorang pejabat Kementerian Kebudayaan yang menyebut kelompok yang datang ke PBNU sebagai sesat, radikal, dan bidah.
Ia meminta klarifikasi dan permintaan maaf atas ucapan tersebut.
“Saya minta klarifikasi yang kemudian melalui Pak Menterinya meminta maaf atas ucapan dari anak buahnya itu. Sebetulnya saya mengharapkan anak buahnya sendiri,” kata Bonnie.
Bonnie menekankan, cara-cara stigmatisasi dan pelabelan terhadap pihak yang berbeda pendapat harus dihentikan.
Menurut dia, kritik tidak seharusnya dibalas dengan tuduhan-tuduhan yang insinuatif dan stereotip.
“Kita harus lebih beranjak maju lagi untuk meninggalkan cara-cara itu,” ujar dia.
Merespons ini, Fadli menuturkan bahwa tidak ada istilah sejarah resmi terkait proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.
Meski memang penulisan sejarah ulang dilakukan oleh pemerintah, namun pemerintah tidak menyematkan label “sejarah resmi”.
“Kalau ada yang menyebut
official history
atau sejarah resmi, ya itu mungkin hanya ucapan saja, tetapi tidak mungkin ditulis ini adalah sejarah resmi; tidak ada itu,” kata Fadli.
Dalam rapat tersebut, Fadli menyampaikan, penulisan ulang sejarah Indonesia mendesak dilakukan untuk menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia sentris.
Menurut Fadli, langkah ini penting untuk menjawab tantangan globalisasi dan perkembangan zaman, memperkuat identitas nasional, menegaskan otonomi penulisan sejarah, serta menjadikan sejarah lebih relevan bagi generasi muda sebagai bagian dari upaya reinventing identitas kebangsaan Indonesia.
Fadli pun memastikan, sejarah nasional Indonesia yang sedang disusun pemerintah saat ini ditulis oleh para ahli sejarawan di bidangnya.
“Tetapi, ini adalah sejarah nasional Indonesia yang merupakan bagian dari penulisan-penulisan dari para sejarawan,” ujar Fadli.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
DPR Tolak Pelabelan "Sejarah Resmi" dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Nasional 26 Mei 2025
/data/photo/2025/05/26/68346aef3b6bd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)