Dari Pabrik ke Pelipir Kampung, Kisah Mantan Buruh Menjahit Harapan di Tengah Badai PHK – Page 3

Dari Pabrik ke Pelipir Kampung, Kisah Mantan Buruh Menjahit Harapan di Tengah Badai PHK – Page 3

Berpindah dari status karyawan ke pelaku usaha mandiri membawa tantangan besar, terutama dari sisi finansial. Untuk membuka jasa jahit, Wati setidaknya harus memiliki mesin jahit sendiri.

Sementara pada saat yang sama, Wati dihadapkan dengan keadaan orang tua yang sedang sakit. Dilema antara membeli mesin jahit atau mengupayakan perawatan orang tua, sempat membuat Wati frustasi. Namun pelan-pelan dia mengurai masalahnya saat itu, dan perlahan bisa mengumpulkan tabungan untuk membeli mesin jahit.

“Tantangannya banyak. Dari segi dana, kemungkinan itu nomor satu. Gak punya dana banyak karena gak dapat pesangon dari pabrik itu, PT Jaba Garmindo,” jelasnya.

“Misal untuk permak jeans itu butuh biaya banyak. Untuk membeli mesinnya sekitar Rp 3 jutaan. Kalau lengkap-lengkapnya semua ya sekitar Rp 20 juta itu sudah punya semua, beres,” imbuh Wati.

Semua upaya itu dilakukan Wati secara mandiri.Wati sempat bingung saat awal membuka jasa jahit di kampung. Wati memiliki integritas tinggi dalam menjahit lantaran pengalaman di pabrik yang membuatnya terbiasa teliti dengan hasil sebaik mungkin. Namun nilai tersebut tampaknya tak terlalu menjadi pertimbangan konsumen di sekitar rumahnya.

Warga sekitar lebih mempertimbangkan harga yang murah ketimbang hasil jahit yang rapih. Ini sempat membuat Wati bingung mematok harga. Namun perlahan dia mulai menemukan formula untuk berbagai macam konsumennya.

“Jadi dari awal nggak ada dukungan dari manapun. Pemerintah, komunitas atau lain-lain, enggak ada. Cuma saya sendiri, cuma pikiran saya sendiri saja buka usaha ini. Bingung juga karena orang desa sini kan maunya yang murah, tapi saya terbiasa jahit dengan mesin kualitas pabrikan,” jelas Wati.