Yogyakarta (beritajatim.com)– Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing memantik reaksi keras dari komunitas pers di Indonesia bahkan akademisi. Pasalnya, beleid ini memuat ketentuan yang mengharuskan jurnalis asing mengantongi Surat Keterangan Kepolisian (SKK) jika hendak melakukan peliputan di wilayah tertentu di Indonesia.
Ketentuan tersebut dinilai problematik karena dianggap berpotensi membatasi ruang gerak jurnalis asing dan mengancam prinsip dasar kebebasan pers. Kecaman datang dari berbagai kalangan, termasuk akademisi.
Menurut Dr. Wisnu Prasetya Utomo, dosen komunikasi politik dan jurnalisme dari Universitas Gadjah Mada, kebijakan tersebut tidak seharusnya dikeluarkan oleh Kepolisian karena menyangkut wilayah yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pers. “Polisi bukan lembaga yang berwenang mengatur kegiatan jurnalistik. Ini sudah masuk ranah Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi,” tegasnya dalam siaran pers kemarin.
Wisnu menilai, aturan itu bersifat overreaching atau melebihi batas kewenangan lembaga, dan dikhawatirkan memperlemah ekosistem pers nasional. Terlebih lagi, ketentuan ini disebut-sebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Polri berdalih aturan tersebut dibuat demi menjaga stabilitas nasional dan keselamatan jurnalis asing selama bertugas. Namun, publik mempertanyakan urgensi hingga proses pembentukan aturan itu, yang tidak melibatkan stakeholder utama di dunia pers, seperti Dewan Pers, KPI, organisasi jurnalis, hingga perusahaan media.
“Kalau alasannya stabilitas, ya selesaikan masalahnya, bukan malah membatasi pemberitaan,” tambah Wisnu. Ia khawatir, langkah ini justru menciptakan kesan bahwa pemerintah menutup-nutupi kondisi dalam negeri dari sorotan dunia internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, media asing diketahui aktif meliput situasi sosial-politik Indonesia, terutama isu-isu demokrasi dan HAM. Sementara itu, banyak jurnalis lokal justru menghadapi tekanan dan kekerasan saat menjalankan tugasnya.
“Keberadaan media asing sangat penting karena mereka menjadi penghubung antara isu domestik dan komunitas global. Mereka membantu menyuarakan ketika jurnalis lokal dibungkam,” ujar Wisnu.
Ia pun mendesak agar Perpol ini segera ditinjau ulang dengan melibatkan komunitas pers. Ia menegaskan bahwa negara yang menjunjung demokrasi semestinya tidak membuat regulasi yang menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Jika ingin mengatur atau mengawasi pers, libatkan semua pihak. Jangan buat aturan sepihak yang bisa merusak fondasi demokrasi,” pungkasnya. [aje]
