Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol Megapolitan 24 April 2025

Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 April 2025

Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol
Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain “Soekarno, Mahathir dan Megawati” (3 November 2003) serta “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan” (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).

Ketika hukum hanya menjadi suara tanpa taring, maka kejahatan akan berjalan tegak di siang bolong
.” (Montesquieu)
DI BAWAH
bayang-bayang beton
kolong tol
Plumpang–Pluit, Jakarta, yang membentang dekat Jakarta International Stadium (JIS), bukan hanya kendaraan yang melintas. Di sana, hukum diuji: dan gagal.
Satu per satu pelat besi penyangga struktur raib, dicongkel dengan palu dan linggis, bukan dalam sembunyi, tetapi justru di siang bolong.
Disaksikan warga dan bahkan, sempat pelaku dihadang petugas. Di situ petugas kita dikeroyok kemudian melepasnya. (
Kompas.com
, 23 April 2025)
Fenomena ini bukan sekadar
pencurian besi
. Ia mencerminkan krisis peran negara dalam menjaga fasilitas publik, sekaligus memotret wajah ekonomi yang gagal memenuhi janji kesejahteraan.
Montesquieu menulis dalam
The Spirit of Laws
(De l’esprit des lois, 1748) bahwa hukum akan lumpuh bila tidak diimbangi penegakan yang tegas dan konsisten.
Saat seorang pencuri di lokasi ini ditangkap, justru puluhan orang datang menyerbu dan memaksa aparat melepasnya.
Negara seolah berdiri, tapi tak hadir. Penegak hukum, yang seharusnya menjadi garda terakhir peradaban, dipinggirkan oleh logika massa yang beringas.
Ini bukan sekadar kemunduran hukum, tapi penanda bahwa negara telah kehilangan kedaulatan di wilayahnya sendiri.
Apa yang mendorong seseorang mengambil risiko mencuri di siang hari, dengan alat berat, di depan saksi mata? Jawaban paling jujur mungkin terletak pada jurang antara harapan dan kenyataan.
Menurut BPS, per Maret 2024, tingkat kemiskinan ekstrem di Jakarta mencapai 1,1 persen, dengan angka pengangguran terbuka sebesar 7,6 persen.
Di wilayah padat dan marjinal seperti Papanggo, ketimpangan bukan sekadar statistik: ia menjadi napas sehari-hari.
Pencurian menjadi ekonomi alternatif ketika ekonomi formal menutup pintunya.
Crime becomes a rational choice
, kata Gary Becker, peraih Nobel Ekonomi, yang mengembangkan teori ekonomi kejahatan.
Dalam logika ini, risiko ditangkap lebih kecil dibanding kemungkinan kelaparan malamnya.
Di banyak negara, infrastruktur adalah lambang kemajuan. Namun di Indonesia, justru bisa berubah menjadi artefak yang perlahan digerogoti dari dalam.
Dalam Global Competitiveness Index 2023, kualitas infrastruktur Indonesia berada di peringkat 72 dari 141 negara.
Negara-negara dengan sistem hukum dan jaminan sosial kuat seperti Denmark, Norwegia, atau Jepang, justru lebih jarang mengalami pencurian aset publik secara terang-terangan.
Mengapa? Karena ada kombinasi antara
rule of law,
kepercayaan sosial, dan kesejahteraan dasar yang terjamin.
Kolong tol
yang dilalap api karena bekas lem dari pelat yang dicuri adalah metafora keras atas sistem yang lapuk: negara membangun megastruktur, tapi gagal membangun sistem pengawasan, kesejahteraan, dan rasa aman yang menopang beton itu sendiri.
Adalah ironi bahwa warga sekitar justru menjadi penonton dari drama ini. Di titik inilah, Habermas mengingatkan kita bahwa ruang publik adalah tempat di mana masyarakat sipil seharusnya membentuk opini dan menekan kekuasaan.
Ketika warga hanya bisa pasrah dan berkata “kami hanya menyaksikan”, maka di situ demokrasi kehilangan tenaganya.
Namun, apakah mereka bisa disalahkan? Ketika aparat mundur karena diancam dikeroyok, bagaimana warga biasa bisa berharap lebih? Tanpa jaminan perlindungan, keberanian sipil hanya akan berakhir pada korban tambahan.
Pembangunan infrastruktur tak akan berarti jika rakyat yang hidup di sekitarnya tak merasa memiliki, tak ikut menjaga, bahkan malah ikut menjarah.
Negara perlu hadir bukan hanya sebagai pelaksana proyek beton, tapi sebagai penjaga martabat warga—dengan lapangan kerja, pendidikan, dan hukum yang tegas tapi adil.
Pencurian pelat besi itu hanya satu bab dari buku tebal tentang kegagalan tata kelola kota dan negara. Bila dibiarkan, kita akan membaca bab berikutnya: runtuhnya jembatan kepercayaan antara rakyat dan negara.
Dan itu, seperti pelat besi yang hilang dari struktur tol: menjadikan kita semua akan runtuh bersama.
Kini, kolong tol itu bukan sekadar tempat gelap di bawah jalan raya. Ia menjelma menjadi panggung tragis di mana negara kehilangan kendali atas wilayahnya, dan masyarakat kehilangan harapan atas masa depannya.
Di situ, hukum tak lagi dibacakan dalam pengadilan, tapi diukur dari siapa yang membawa lebih banyak linggis dan keberanian untuk melawan.
Pelat-pelat besi yang hilang tak hanya meruntuhkan struktur beton, tapi juga menelanjangi apa yang selama ini disangkal: bahwa keadilan bisa runtuh bukan karena badai, tapi karena kealpaan yang dibiarkan tumbuh seperti lumut di beton.
Kita membangun jalan tol untuk menghubungkan kota-kota. Tapi kita lupa membangun jembatan antara hukum dan rasa aman, antara negara dan rakyat.
Dan ketika jembatan itu runtuh, bahkan suara palu pencuri pun bisa terdengar lebih nyaring daripada suara negara.
Sebab, kejahatan yang paling berbahaya bukan yang terjadi dalam gelap. Namun, kejahatan yang bekerja di siang hari, dan tak seorang pun merasa perlu menghentikannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.