PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah berencana menyeimbangkan neraca dagang Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Beberapa komoditas yang didorong untuk peningkatan impor, yakni liquefied natural gas (LNG), liquefied petroleum gas (LPG), hingga komoditas pangan seperti kedelai.
Pemerintah juga akan mengkaji kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk komoditas yang diekspor oleh AS. Salah satu sektor yang akan mengalami perombakan kebijakan TKDN adalah Information and Communication Technology (ICT) seperti produk dari General Electric (GE), Apple, Oracle dan Microsoft.
“Pemerintah juga melakukan deregulasi non-tariff measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN sektor ICT dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft), serta evaluasi lartas (Import License), hingga percepatan halal. Kemudian balancing terhadap Neraca Perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agriculture dari AS seperti Soya Bean (kedelai), pembelian peralatan engineering, pembelian LPG, LNG, dan Migas oleh Pertamina,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan di Jakarta, Rabu, 9 April 2025.
Langkah selanjutnya, kata Airlangga, pemerintah menyiapkan insentif fiskal atau nonfiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS.
“Pemerintah kini tengah melakukan upaya negosiasi terkait adanya kebijakan tarif impor AS kepada Indonesia. Salah satu bagian kesepakatan dari negosiasi,” katanya.
Diungkapkan, risiko ketidakpastian ekonomi global pada 2025 cenderung tinggi dan berasal dari instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang masih tinggi.
Kondisi tersebut juga kian diwarnai dengan kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat. Adanya kebijakan tarif impor tersebut meniimbulkan sejumlah dampak, mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang emerging markets, terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global dan penurunan volume perdagangan dunia.
Hal tersebut menekan harga komoditas global seperti crued oil dan brent, serta perlambatan ekonomi kawasan dan dunia yang ditandai dengan penurunan konsumsi global dan penundaan investasi perusahaan.
Sebagai bentuk respons atas kebijakan tersebut, sejumlah negara telah memutuskan mengambil sejumlah strategi. Seperti China yang menetapkan tarif balasan (retaliasi) sebesar 34%, Vietnam yang meminta penundaan penerapan tarif dan melakukan negosiasi, Thailand yang akan melakukan negosiasi serta mempertimbangkan diversifikasi pasar.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan berbagai langkah strategis di antaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis. Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menagatakan, rencananya Airlangga bakal berangkat minggu depan dengan membawa menu-menu negosiasi. Pemerintah mengantisipasi ancaman kepada industri dalam negeri dan berdiskusi langsung dengan asosiasi-asosiasi dan menerima banyak masukan dari para pelaku usaha tersebut.
“Pertama adalah kita melihat juga bagaimana kemampuan dari pelaku usaha kita. Kalau kita lihat top 10 dari ekspor kita ke Amerika, nomor satu kan elektronik, nomor dua itu TPT, nomor tiga itu sepatu dan sebagainya,” sebut Febrio.
Jadi pengusaha juga sudah memiliki cara untuk menavigasi ini. Dan ketika mereka melakukan navigasi itu mereka juga berkonsultasi dengan pemerintah.
“Sehingga apa yang mereka lakukan itu di-share ke kita. Apa yang akan kita siapkan untuk negosiasi minggu depan dipimpin oleh Pak Menko. Itu juga menjadi satu paket yang bersama. Sehingga memang harapannya nanti negosiasinya berjalan dengan lengkap, baik dari pemerintah dan juga pelaku usaha,” katanya.
Namun, pemerintah tidak menyiapkan mekanisme baru, melainkan yang sudah ada, di antaranya Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Jika ada kekhawatiran bahwa terjadi dumping, maka sudah ada mekanismenya di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan juga di Kementerian Keuangan.
“Yang tadi kita juga sampaikan ke teman-teman pengusaha terutama adalah kita akan melakukan percepatan proses. Jadi supaya begitu ada indikasi dengan situasi seperti sekarang, kita berharap proses yang kita lakukan untuk melindungi industri dalam negeri itu kebijakannya tidak lama untuk keluarnya,” ujar Febrio.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
